Setiap memasuki bulan puasa selalu aja ada perdebatan soal harus engganya menutup tempat makan di jam puasa. Bertahun-tahun menu pembicaraannya soal ini melulu. Kayak nggak pernah ada jalan keluar atau kita memang senang memperdebatkan hal-hal beginian.
Taun ini perdebatan ini semakin seru karena adanya berita soal warung di Serang, Banten yang dirazia satpol PP karena berjualan di saat orang-orang puasa. Video satpol PP mengangkut panci wadah si ibu berjualan tersebar di mana-mana, dan tentu saja menarik simpati orang. Beberapa teman di twitter memprakarsai pengumpulan dana yang dalam waktu 36 jam berhasil mencapai nilai 200juta sekian. Luar biasa.
Kemudian ada yang bilang gerakan ini salah karena “nggak mendidik”, “memang ada perdanya” dan “di mana langit dipijak di situ langit dijunjung”. Begitulah. Semua punya pendapat masing-masing.
Saya bukan mau bahas soal benar apa salahnya kita bersimpati kemudian bergerak melakukan sesuatu. Saya justru mau bahas soal kadar toleransi yang kita punya sebagai orang-orang yang tinggal di antara masyarakat yang majemuk ini. Karena sejak kecil saya bersekolah di sekolah homogen, saya merasa belajar toleransi ini terbatas pada teori. Susah buat kita belajar menghargai perbedaan kalau kiri kanan depan belakang kita sama semua. Susah mengerti gimana menghargai yang puasa kalau di sekitar kita jarang yang puasa, juga demikian susah mengerti kebutuhan yang tidak puasa kalau di sekitar kita semua puasa.
Itu sebabnya saya menyekolahkan Biyan di sekolah yang heterogen. Teman-temannya berasal dari keluarga yang beragam baik dari sisi agama, suku, dan ras. Supaya dia mengerti sejak dini bahwa ada orang-orang yang berbeda dengan dia dari sisi ritual agama, sisi kebiasaan, dan lain-lain. Dan bukan cuma teori tapi dia rasakan sendiri di kehidupannya sehari-hari. Supaya dia bisa mengerti apa makna toleransi yang sebenarnya dan bagaimana harusnya hidup berdampingan dengan yang berbeda smaa kita.
Dan saya melihat metode ini cukup berhasil. Waktu saya kecil dulu, pas puasa saya ngumpet-ngumpet banget kalau mau minum, takut ada yang lihat dan ujung-ujungnya tersedak. Biyan sekarang, mau minum ya minum aja. Tapi ya ga usah atraktif toh. Ga usah di tengah panas siang hari minum coca cola kemudian bersuara “aaahhhhh segaaarrrrrr”. Jam istirahat dan harus makan, ya makan aja di tempatnya, tanpa harus mengunyah lama-lama dan bersuara “aaaaaahhh sedapnya”.
Saya yakin kamu mengerti maksud saya.
Beberapa hari lalu kami pergi ke coffeeshop di jam puasa. Karena hari panas, dia kemudian pesan Ice Lychee Tea dan namanya juga Biyan, sebelum minum tentu dia foto-foto dulu (maklum, calon penerus surgamakan.com). Selesai foto dia minum sambil baca buku. Waktu itu sekitar jam 4 sore. Saya tanya, fotonya udah di upload di Instagram? Jawabnya, “belum, nanti aja, jam segini orang masih puasa”.
Saya bahkan nggak pernah mengajarkan dia untuk nggak posting makanan/minuman di jam puasa. Toleransi dan menghormati itu ternyata bukan untuk diajarkan saja tapi untuk dipahami sendiri.
Kemarin ada teman sekolahnya main di rumah dari pagi sampai sore. Umurnya sama, 8 tahun dan kelas 2 SD. Saya tadinya ragu mengajak dia main ke rumah. Kasian, kan lagi puasa, sementara di rumah kami nggak ada yang puasa. Tapi anak itu asik-asik aja. Dia menunggu Biyan makan siang, lanjut main lagi dan sampai sore menjelang jam buka saya antar dia ke rumahnya dia biasa aja. Puasanya penuh, saya kagum.
Saya yakin bahwa cara terbaik menanamkan toleransi sama anak-anak adalah dengan ‘menceburkan’ mereka ke lingkungan yang beragam.
Mimpi saya adalah bahwa nanti anak-anak kita memang secara natural biasa hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan di antara mereka. Bukan yang merasa perlu ngasih 200 jempol di facebook saat melihat seorang suster membantu seorang ibu berjilbab menyeberang jalan atau yang merasa perlu retweet gambar gereja dan mesjid yang berdampingan.
Pagi iniΒ saya melihat tulisan ini di Twitter. Kalau memang kita kayak begini, semoga generasi selanjutnya nggak begini lagi ya.
Reblogged this on kisah pekerja lepas and commented:
apa kita perlu belajar toleransi dari anak2?
nampaknya demikian π
Salam kenal mba. Saya mampir kesini karena blognya dishare oleh teman saya Elvina. Tulisannya bikin adem di kondisi buka tutup rumah makan di bulan puasa yang ora wis wis ini.
Saya setuju dengan ucapan kalau memang teman sepermainan masih homogen, maka akan lebih sulit untuk menghargai perbedaan. Kalau kata anak masa kini: “main loe kurang jauh dan kurang malam” ;D
salam kenall, terima kasih udah mampir. Semoga taun depan kita nggak usah lagi denger perdebatan soal buka tutup rumah makan ya, bosen, hehe.
dan aku ngakak baca “main loe kurang jauh dan kurang malam” : ))))
aku belum punya anak, karena memang belum ada calon bapaknya. tapi membaca tulisan kak shasya ini, menambah pengetahuan tentang parenting. pastinya buat bekal aku nanti laaah… eheheu!
*peluk ciyum untuk biyan*
lumayanlah berbagi pengalaman ya Michan π
peluk cium dari Biyan juga :*
Reblogged this on DigiMom Adventure and commented:
Well said!
thank youu π
Inspiratif banget! Thanks for share..
terima kasih juga π
Menyejukkan sekali mbak, semoga pertemanan Biyan dan temannya tetap langgeng smp nanti, Terima kasih sdh berbagi….π
terima kasih, hatiku hangat baca komennya π
Seneng baca beginian. Memang hal ini harus ditanamkan sejak kecil. π
yes! dan nggak susah ternyata menanamkannya π
Senang membacanya, toleransi memang bukan soal diajarkan. Tapi dipraktikkan
sepaham π
Bagus banget tulisannya. Aku izin share di Facebook ya π
terima kasih Dita, makasi juga udah di share ya π
menyejukan, semoga bynk yg mempraktekan hal yg sama..
Setuju bu. Saya jg berpendapat demikian. Saya jg hidup di lingkungan majemuk, baik dari agama maupun suku. Teman2 Saya di sekolah/kampus jg beragam & hal itu nggak masalah buat kami.
Menurut saya, semakin luas pertemanan/semakin beragam orang2 yg kita kenal, semakin tinggi kadar toleransi kita loh. Jadi saya suka heran dgn keluarga/segelintir orang yg memandang “Kita ini lebih baik, Harusnya kalian menyesuaikan”. Hadeh, capek deh.
Ah, senangnya ketemu sama yang punya pemikiran/mindset sama soal toleransi. Lelah ya setiap tahun di TV bahasannya itu-itu aja.