Ngajarin Toleransi : Nonsense.

Setiap memasuki bulan puasa selalu aja ada perdebatan soal harus engganya menutup tempat makan di jam puasa. Bertahun-tahun menu pembicaraannya soal ini melulu. Kayak nggak pernah ada jalan keluar atau kita memang senang memperdebatkan hal-hal beginian.

Taun ini perdebatan ini semakin seru karena adanya berita soal warung di Serang, Banten yang dirazia satpol PP karena berjualan di saat orang-orang puasa. Video satpol PP mengangkut panci wadah si ibu berjualan tersebar di mana-mana, dan tentu saja menarik simpati orang. Beberapa teman di twitter memprakarsai pengumpulan dana yang dalam waktu 36 jam berhasil mencapai nilai 200juta sekian. Luar biasa.

Read More

Yes It Breaks My Heart a Bit

It breaks my heart pagi ini karena Biyan nangis gara gara saya terlambat datang ke acara sekolahnya hari ini. Padahal agendanya seru, main air bareng orang tua. Sudah dibeliin jas hujan baru pula. Kenapa saya datang terlambat? Apalagi kalo bukan urusan kerjaan, bukan? Bukan.

Dan dasar anak drama ya, nangisnya bukan nangis biasa tapi nangis kayak mau ditinggal kemping 3 minggu. Saya sudah diambang batas antara mencoba sabar dan mau marah. Masalahnya situasi sekolah ga pernah mendukung untuk marah, ataupun untuk sabar sabar. Berisik. Anak anak lari lari dimana mana. Not helping at all. Dan ga bisa komplen, namanya juga sekolah ya.

Sudah begitu masih harus denger komentar macam “kesian Biyan, mamanya sibuk”. Oh yeah, I’m a proud working mom. Dalam situasi normal komentar begitu akan lewat aja dan ga bakal dapet tanggapan apa2. Dalam situasi kayak tadi pagi, ini berasa jadi cobaan bener.

Emang sih jumpalitan antara kantor dan ngurus anak ini memang kadang kadang bikin lelah. Tapi berhenti bekerja tidak pernah jadi pilihan saya. Berhenti kerja kantoran sih mungkin pengen berenti ya. Tapi saya kepengen menggantinya dengan kerjaan lain yang lebih flexible aja. Tidak harus lebih santai, tidak harus ga sibuk, tapi mau lebih flexible aja. Boleh dong? Boleh.

Dipikir pikir lagi, sesibuk sibuknya ngurus kerjaan, alhamdulilah masih deh bisa dateng ke acara2nya Biyan. Yang serius maupun yang santai, saya sempatkan kok. Bukannya karena kerja trus ga pernah muncul at all juga. Yang penting kan semuanya diusahakan seimbang : kerjaan, Biyan, dan me time. Prioritas bisa bergeser geser sesuai keperluannya aja.

Jadi inget dulu waktu saya masih kecil. Mama saya juga ga pernah tuh dateng ke sekolah kalau ada acara apa apa. Saya nyanyi, nari, main drama, speech contest, semua dilewati aja walaupun mama saya bukan ibu bekerja. Dan toh saya ga apa apa. Sedih sedih lucu ajalah dulu, anak lain ditemenin mamanya sementara saya engga. Sekalinya mama dateng ke sekolah, pada sibuk ngeliatin “oh itu toh mamanya Shasya”. I was fine back then, tapi saya nggak mau Biyan mengalami hal yang sama. Makanya biar dengan akrobat jumpalitan, saya usahain untuk nongol di (hampir) semua kegiatan Biyan.

Dipikir pikir lagi, namanya punya anak, yang namanya tuntutan memberikan perhatian itu kan nggak pernah berhenti. Waktu hamil, kita terpaksa (dalam tanda kutip ya bukan terpaksa beneran) untuk bener2 jaga makanan, jaga badan, jaga kesehatan. Mengorbankan semua kesukaan kita demi bayi. Waktu baru lahir, mengorbankan waktu me time untuk ngasih ASI yang tidakkunjung berhenti sampai 2 taun ke depan. Setelah itu anak mulai belajar, kita memberikan perhatian de gan ngajarin dia sambil kasih contoh, mengajari dia hal hal baru yg belum dia tau. Beres itu sekolah, ya ngadepin endesbrey endesbrey seperti yang saya ceritain di awal tadi. Beres sekolah TK SD dikata tanggung jawab beres? Kagak cin, anak beranjak remaja, makin pusing tuh urusan. Mengamati temen2 mainnya, khawatir ada yg pengaruh buruk dll. Anak punya pacar, ta,bah pusing lagi sehubungan dengan trend sex bebas kan? Nah loh.

Ga berenti sampe situ kan. Abis kawin emang ga dipikirin? Percaya deh, oma saya aja sampe almarhum papa meninggal di umur 50, masih selalu dikhawatirin kayak anak lelaki umur 16 taun.

Jadi orang tua memang ga ada ujung pangkalnya.

Saya tidak pernah menyesali kenapa mama saya nggak banyak aktif waktu saya sekolah dulu. Kenapa dia nggak nongkrong2 sama ibu ibu lain supaya update berita2, supaya saya bisa diajak pergipergian bareng temen2 sekolah. Bahasa kerennya sekarang, playdate. Dan kenapa mama saya nggak pernah liat anaknya yang bawel ini jadi juara 1 speech contest.

Karena setelah melewati masa itu, mama bisa dibilang selalu ada buat saya. Ga usah nonton saya main drama, tapi dia ada waktu saya patah hati abis abisan. Ga usahlah nganter saya latihan paduan suara, tapi nyatanya dia ada untuk bantu jagain Biyan, dengan cara yang tidak pernah perlu saya koreksi.

Segimana pun saya kecewa karena ga berhasil datang tepat waktu buat acara di sekolah pagi ini, saya tau saya masih punya setumpuk kesempatan lain untuk memperbaikinya. Ga usahlah drama jadi kepengen berenti kerja cuma gara gara tadi pagi toh? Toh.

Rumah Belajar Semi Palar

Ini kenapa jadi kebiasaan bangun pagi dan nagih posting blog ya. Bagus deh ya. Besok pagi kalau bangun sepagi ini lagi kita coba lari pagi. Apa aja asal lebih produktif dari kemarin kemarin. Resolusi? Boleh sebut saja begitu. Kalau nanti tengah jalan berhenti mohon jangan disebut resolusi gagal. Sebut saja haluan berubah. Okay?

Ada yang memang mau diposting sejak kemarin-kemarin sebetulnya. Tapi biasalah ibu menteri kan sibuknya segunung *sasakan*.

Mau cerita soal sekolah Biyan. Jadi per Juli 2011 kemarin kan Biyan sudah mulai sekolah (jadi tulisan ini tertunda selama….hmm…. 6 bulan – keterlaluan).

Biyan sekolah di satu sekolah yang namanya Rumah Belajar Semi Palar. Setiap ada yang tanya sekolah dimana dan saya jawab, reaksi yang biasanya saya dapatkan adalah kerutan kening, lalu pertanyaan standar, dimana itu, sekolah apa, dan lain-lain. Maklum, sekolahnya bukan sekolah “tenar” yang semua orang pasti tau, dan bukan pula sekolah “favorit” yang rata-rata ibu-ibu pengen menyekolahkan anaknya disana.

Terus kenapa saya pilih sekolah ini?

Karena begini, selama saya kecil sampai saya usia SMA, saya bersekolah di sekolah yang homogen. Jelasnya, saya sekolah di sekolah kristen yang (hampir) semuanya dari kalangan chinese. Merasa nyaman? Jelas, karena saya kan chinese, jadi merasa berada dalam lingkungan sendiri. Ketika saya masuk kuliah, sebetulnya tempat kuliah saya masih dari lingkungan serupa. Namun di tahun-tahun terakhir kuliah saya mulai banyak bergaul dengan teman-teman yang berasal dari lingkungan adat, suku, dan agama yang berbeda. Ini ternyata menyenangkan, dan saya rasanya lebih bisa menerima banyaknya perbedaan yang ada di sekitar saya.

Maka saya menginginkan hal yang berbeda untuk Biyan. Saya ingin, sejak kecil dia merasakan dan mengalami bahwa ada banyak perbedaan di luar dengan dirinya sendiri, dan itu tidak aneh, apalagi salah. Rumah Belajar Semi Palar tidak berdasarkan suatu agama, karenanya murid-murid yang bersekolah disitu pun berasal dari banyak kalangan agama dan suku. Untuk saya, inilah cara mengajar toleransi paling efektif buat anak-anak, masukkan mereka ke dalam lingkungan yang heterogen. Bagaimana bisa mengajar anak-anak untuk bertoleransi kalau kiri-kanan-depan-belakang semua beragama sama, berlatar belakang sama, dan beradat sama? Seperti yang saya rasakan dulu jadinya, cuma teori. Syukur-syukur ada yang berhasil mengerti dan menjalankannya dalam kehidupan, sisanya (sorry to say), cuma teori.

Sejak pertama kali datang untuk open house dan mendengar penjelasan ini itu soal Rumah Belajar Semi Palar, saya jatuh cinta. Saya bahkan tidak mencari perbandingan sekolah lain (khas saya kalau sudah senang akan sesuatu). Sekolah ini menamakan dirinya Rumah Belajar karena mereka memang menciptakan suasana itu untuk anak-anak. Sampai sekarang. kalau ditanya “Biyan belajar apa di sekolah?”, biasanya dia diam saja, lain halnya kalau ditanya “Biyan main apa di sekolah?”, maka ceritanya akan mengalir soal apa saja yang dikerjakannya hari itu.

Rumah Belajar Semi Palar menyediakan suasana yang santai sehingga anak-anak merasa betah dan ga merasa wajib pergi ke sekolah. Biyan pergi ke sekolah mengenakan sendal jepit kesukaannya, sampai sekolah dibuka dan dia ย lari kesana kemari tanpa menggunakan alas kaki, semua anak-anak begitu. Ini memang bukan hal pokok, tapi salah satu cara menciptakan suasana santai, anak-anak juga merasa lebih nyaman dan ga merasa terkungkung.

Hal lain yang saya suka dari Rumah Belajar Semi Palar adalah komitmen mereka untuk melibatkan kita sebagai orang tua untuk ikut serta dalam proses pembelanjaran anak-anak. Saya sebagai orang tua yang bekerja memang kadang-kadang repot membagi waktu antara pekerjaan dan urusan sekolah ini. Tapi kalau mau kan pasti bisa, maka saya (hampir) selalu hadir di acara-acara yang diadakan disana.

Tidak ada yang lebih penting selain anak kita yang betah selama kita ‘menitipkan’ mereka di sekolah, walau ‘baru’ 2 jam sehari. Di Rumah Belajar Semi Palar, saya mendapatkan ini. Biyan betah, saya pun tenang ๐Ÿ™‚

1st day at school

1st day at school

dia malah tidur :))

for a month or so, Biyan thought this Mischa girl is the prettiest girl in school

Kalau pengen tau lebih banyak soal Rumah Belajar Semi Palar, siapa tau mau ikutan sekolahin anaknya disitu, coba cek blognya. Ada banyak cerita anak-anak yang bikin gemes ๐Ÿ™‚