Siapa Juga Yang Mau Slow Living?

“Katanya Bali udah mulai macet juga? Gimana mau slow living di sana?”

Ada 2 reaksi saya ketika mendengar teman bertanya begini. Yang pertama : Bali mana dulu yang macet. Kalau perginya ke area turis di musim libur dan menjelang atau sesudah sunset, ya iya macet. Untuk saya yang tinggal di Denpasar, macet-macet ini masih bisalah dihadapi tanpa sumpah serapah, ada beberapa ruas jalan yang memang baiknya dihindari di jam-jam tertentu.

Kedua, siapa juga yang mau slow living?

Read More

“Aku Nggak Mau Jualan Makanan Kayak Mama Kalau Udah Besar Nanti”

“Aku sih nggak mau jualan makanan kayak mama kalau aku udah besar nanti” – begitu kata Biyan anak saya yang cuma satu-satunya itu. Yang namanya hati sempat mencelos juga waktu saya dengar dia bilang begitu. Bukan apa-apa, tadinya saya sempat merasa ini mungkin pekerjaan yang paling menyenangkan yang pernah saya kerjakan, dan saya ingin nanti dia bisa meneruskan apa yang pernah saya mulai ketika umur dia masih di bangku SD kelas 6 (ya kita aminkan aja bahwa jual-jualan makanan ini bisa bertahan setidaknya sampai 2 generasi ya kan?).


“Aku kira jualan makanan itu hanya soal masak dan dagangnya aja, tapi urusan mama kayaknya lebih dari itu dan BANYAK BANGET MAM” – katanya lagi.

Ya memang iya sih. Dulu waktu mulai berdagang makanan saya juga berpikir begitu, masak yang enak, jualan, promo-promo di socmed, hello-hello sama customer yang makan, repeat terus begitu.

Ternyata enggak.

Berdagang makanan ternyata artinya kamu mesti dealing sama manusia lain. Ada supplier, ada karyawan, ada landlord, ada customer, ada pengangkut sampah, ada teknisi listrik, ada tukang, ada kurir, dan rentetan orang lain yang mau nggak mau bersinggungan erat dengan dagangan kamu. Dan tentu saja, nggak semuanya klik dengan baik sama kamu. Ada yang karena gaya bicara yang berbeda, ada yang karena adat istiadat yang berbeda, ada yang karena maksud yang berbeda, ada karena ya emang nyebelin aja.

Pekerjaan ringan yang rutin saya lakukan sejak 5 tahun lalu berjualan makanan adalah posting jam operasional warung di social media. Ini bukan berarti kemudian tidak ada yang nanya di DM “Kak bukanya jam berapa ya?”. Kalau mengikuti kata hati rasanya ingin : ITU BACA UDAH DITULIS! Tapi ga bisa karena berdagang artinya bukan hanya pribadi kita aja yang kita bawa depan publik. Karenanya saya selalu menjawab dengan baik tapi sambil menambahkan bahwa keterangan tersebut sudah ada di profile IG, di Google, dan IG story. Tadinya saya berpikir mencerdaskan kehidupan bangsa bukan kewajiban pedagang makanan seperti saya, tapi kemudian saya berpikir lagi, mungkin ini adalah sedikit yang bisa saya lakukan untuk menggerakkan orang-orang agar mau membaca.

Celetukan Biyan di atas sebetulnya muncul saat saya harus membalas DM “boleh bawa binatang peliharaan ke warung Kak?”. Menulis ini aja membuat saya menarik napas cukup panjang. Pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk dijawab. Karena kalau saya jawab iya, warung saya kemudian seolah-olah pet friendly padahal sebetulnya tidak terlalu karena nggak punya kebun (ini lagi cerita warung di Bandung). Kalau saya jawab nggak boleh, ya sebenernya bukan ga boleh juga, tapi kadang kalau pas warung lagi penuh, otomatis orang duduk berdekatan, bahkan tak sekali dua kali harus share meja dengan tamu lain, jadinya yaa kalau ada yang bawa binatang peliharaan pasti mengganggu. Tapi nanti kalau ditegur mungkin saya akan dapat jawaban “lho katanya boleh?!”. Begitulah, serba salah.

Berdagang makanan juga membuat saya harus menerima komplenan perihal parkir. Padahal sebagai warung yang belum punya basement 1 dan 2 untuk parkir, petugas parkir yang ada di sekitar warung saya di Bandung dan Bali bukan karyawan kami sehingga sulit juga untuk mewajibkan mereka melakukan apa yang saya mau. Belum lagi parkir memang selalu jadi masalah ketika ramai, apalagi warung di Bandung bertetangga dengan banyak tempat makan, tempat jajan oleh-oleh dan tempat ngopi. Saya menyebut ini happy problem karena sepusing-pusingnya dikomplen soal parkir, pasti lebih pusing kalau sama sekali nggak ada yang parkir karena nggak ada yang mampir ke warung kita. Duh amit-amit dulu yuk *ketuk ketuk meja*.

Tapi ya berdagang makanan memang begini adanya. Bukan hanya perihal masak yang enak lalu ada yang beli, senang, besok ulangi lagi, terus begitu. Saya pernah bilang pada salah satu karyawan “buka warung itu mirip seperti menyetir mobil jarak jauh, kita harus terus jalan tapi ga boleh lupa liat ada apa di kiri kanan, ga boleh lupa cek kondisi mobil, apa ban perlu diganti, apa perlu diisi angin, apa perlu diisi bensin, mungkin kadang kita bisa ngebut tapi kadang kita mesti memperlambat laju sedikit”.

Jadi seneng nggak Shas berdagang makanan?
Ya senenglah. If there is life after life, maybe I’d do this all over again (kalau nggak laku jadi super model)

1001 Sudut Pandang

Seperti biasa judul postingan harus lebay agar supaya mengandug click bait seperti media-media nasional. Padahal maksud saya bukan harus punya 1001 sudut pandang, yang penting lebih dari 1 aja. Karena orang yang punya sudut pandang cuma satu itu artinya miskin.

Kenapa sih biasanya ngomongin jalan-jalan dan makanan enak kok sekarang jadi ngomongin sudut pandang?

Read More

Budget ke Ho Chi Minh City buat 4D3N

Vietnam ini sudah ada dalam bucket list saya sejak…. wah lama deh pokoknya. Awalnya sih pengen ke Hanoi, karena kabita liat foto-foto di Halong Bay yang sudah masuk ke UNESCO World Heritage Site itu. Tapi baru-baru ini saya baru aja pulang dari Labuan Bajo dan living on board di sana selama 2 malem jadi rasanya ke Halong Bay entar-entaran ajalah ya.

Kemudian saya ngintip-ngintip Ho Chi Minh City yang ternyata eh kok menarik juga. Saya suka jalan-jalan yang santai berisi makan-duduk-ngopi-makan-duduk-ngopi soalnya. Dan tentu saja saya penasaran untuk mencoba langsung Vietnam Drip langsung di tempatnya.

Read More

Hadiah Buat Diri Sendiri

Bukan hanya karena suka posting #gerakankakidiatasmejatiapjumat saya jadi suka jajan sepatu baru. Bukan juga karena suka jajan sepatu baru saya jadi suka posting #gerakankakidiatasmejatiapjumat. Tapi setidaknya dua hal ini memang saling mendukung, nggak tau tepatnya yang mana yang datang duluan. Yang pasti, jajan sepatu memang sangat Shasya Pashatama.

Read More

7 Kegiatan Asik Yang Bikin Pengen Pindah Rumah ke Wuyishan

Pagi ini saya baru saja menghabiskan bungkusan teh terakhir yang saya bawa dari Wuyishan, sebuah kota kecil berjarak 3 jam perjalanan dengan kereta cepat dari Xiamen. Iya, kunjungan kesana kemarin masih dalam rangkaian perjalanan #XiamenFamTrip bersama Xiamen Airlines.

Kereta yang membawa kami ke Wuyishan berangkat dari Xiamenbei jam 08.57 pagi. Begitu sampai di stasiun saya dan teman-teman cukup terpesona dengan besar dan bersihnya stasiun ini. Semuanya rapih pun, signage pun lengkap, besar-besar, pokoknya informatif. Ticketnya bisa dibeli online sekitar H-7 sebelum perjalanan dan supaya pasti kebagian memang sebaiknya book online daripada go show.

IMG_8393

Keretanya juga cakep banget. Semua tempat duduk bernomor sesuai yang tertera di ticket. Naik kereta yang dingin selama tiga jam tentu saja membuat saya laper. Pedagang makanan bolak balik menawarkan nasi kotak yang harum banget. Tentu saja saya tergoda. Akhirnya beli. Pas buka plastik, ternyata kereta tiba di Wuyishan. Akhirnya keluar stasiun menggeret koper sambil membawa nasi kotak. Untung enak banget, tak sia-sia susah-susah membawanya ke bis 🙂

IMG_9116

Tiba di Wuyishan, saya dan beberapa teman mulai rewel cari tempat ngopi. Walaupun bukan penggemar berat kopi, tapi duduk di coffee shop kayaknya sudah jadi kebiasaan saya. Tapi Pak Thomas, guide kami yang helpful dan baik hati itu bingung pula menanggapi pertanyaan kami,

Pak Thomas : “Tempat ngopi yaaa….hmmmm di mana yaaa. Kalau di Xiamen sih ada Starbucks, kalau di sini hmmm aduhh ga ada”

Saya : “Jangan Starbucks Pak, kita maunya kedai kopi local atau coffee shop lah gitu”

Pak Thomas : “aduh saya belum pernah lihat”

Lalu kalau nggak ada coffee shop, di Wuyishan ngapain dong?

Read More

Xiamen : Kota Paling Romantis di China

Kalau boleh jujur, Xiamen tak ada di daftar tempat yang ingin saya kunjungi di negeri China. Guilin yang terkenal dengan keindahan alamnya ada di posisi nomer satu dan Shanghai yang terkenal vibrant itu ada di nomer dua. Maka waktu saya menerima undangan dai Xiamen Air dan Xiamen Municipal Bureau of Tourism untuk berkunjung ke sana, saya langsung sibuk browsing dan rasanya ingin langsung packing dan pergi. Padahal waktu itu visa aja belum jadi. Melihat Xiamen dari layar laptop membuat saya jadi tak sabar untuk melihatnya langsung.

Snapseed

Read More