Oh Gini Rasanya Beranak Dua

Sejak punya anak pertama, saya langsung memutuskan bahwa punya anak cukup satu saja. Kalau diceritain alasannya bisa banyak dan panjang, yang jelas sampai menjelang usia anak saya mau 17tahun, keinginan saya tetap sama : punya anak mau satu aja. Tentu saja saya kemudian sering mendengar cerita teman-teman yang anaknya lebih dari satu. Dari cerita manis bagaimana si kakak mahir mengasuh adiknya, sampai adiknya yang selalu ikutin kakaknya ke manapun pergi, juga cerita-cerita adik kakak berantem, ga akur, dan lain-lain.

Yang paling menarik dari semua cerita itu adalah bagaimana 2 orang anak yang dibesarkan oleh orang tua yang sama, dengan metode yang sama, diberi makan makanan yang sama dan segala sesuatu yang sama ternyata bisa menghasilkan 2 jenis orang yang sangat berbeda. Contohnya banyak banget, ada teman yang anaknya terpaut usia sedikit tapi yang satu ekstra introvert yang satu ekstra ekstrovert. Ada pula yang satu serius banget yang satunya lagi hobby bercanda dan santai-santai. Ya sebetulnya ga usah jauh-jauh, saya punya 3 adik laki-laki yang tabiatnya berbeda total satu sama lain. Padahal ya orang tuanya sama, makannya sama, diajarnya sama, diperlakukannya juga sama.

Dalam kurun waktu 8-9 bulan belakangan ini saya akhirnya merasakan sendiri kisah punya anak 2 ini.

Read more: Oh Gini Rasanya Beranak Dua

Tentu saja saya tidak hamil kemudian melahirkan, ini lagi ngomongin soal Cici Claypot dan Sarinande Kitchen Bali, 2 warung kecil yang saya perlakukan seperti anak sendiri. Dilahirkan dengan penuh sadar dan dengan bahagia, diasuh dan dibesarkan sepenuh hati kalau bisa kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala. Yang pasti hati ini rasanya tumpah ruah untuk kedua anak saya ini.

Namun seperti halnya punya anak 2 itu tadi, ternyata 2 warung yang saya lahirkan dengan cara yang sama dan dibesarkan dengan cara yang sama ini punya karakternya masing-masing. Saya ingat persis 5 tahun lalu saat buka Cici Claypot selama 4 bulan setiap hari saya stand by di warung dari buka sampai tutup, setiap hari tanpa pernah absen sampe rasanya nggak punya social life kecuali dengan teman-teman dan pelanggan yang datang makan ke warung. Setelah 4 bulan, saya baru bisa sesekali pergi, baik absen sebentar istirahat di rumah atau pergi traveling singkat. Long story short, perkembangan Cici Claypot bisa dibilang cukup pesat. We survived pandemic, we did a lot of collaborations and innovations bahkan di tahun ketiga kemudian lahir Cici Claypot Medan yang diikuti dengan Cici Claypot Bali 2 minggu kemudian.

Cici Claypot Medan
Cici Claypot Bali

Tentu saja saya berpikir Sarinande Kitchen Bali kurang lebih akan bernasib sama. Walau memang kali ini saya nggak bisa full straight 4 bulan selalu hadir di lokasi, ya karena lokasinya di Bali sementara hidup saya masih terbagi-bagi antara Bali dan Bandung. Tapi yaa saya kira kurang lebih akan samalah hasilnya. Wong sebelum tidur sama-sama dipikirin, bangun tidur sama-sama dipikirin dan saat menyetir atau naik motor sama-sama dipikirin juga, nggak ada yang lebih banyak dipikirin, nggak ada yang anak tiri, semua anak kesayanganku, begitulah kira-kira yang ada di dalam kepala saya.


Tapi ya itulah ya, ternyata memang apa yang kita perlakukan sama belum tentu memberikan hasil yang sama. Supaya tidak menafikan berkat yang sudah saya terima dari anak kedua saya ini, saya mesti bilang bahwa hasilnya sebetulnya nggak jelek-jelek amat, nggak membuat saya nggak happy apalagi membuat saya menyesali keputusan berjualan nasi rames. Yang bisa saya bilang hanya ; perjalanannya tidak semudah dan semulus anak pertama. Ada banyak perhatian ekstra yang diperlukan, kehadiran fisik saya lebih banyak diharapkan, juga banyak usaha ekstra yang perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang membuat saya (lebih) happy.

Perlu diakui kalau 6 paragraf di atas isinya adalah kisah romantisasi berbisnis. Padahal yang namanya bisnis, sebaiknya tidak diromantisasi – ini yang pernah seorang teman bilang waktu saya curhat soal ini dan itu. Ya memang perlakuannya sama, tapi dalam berbisnis kan ada banyak faktor lain selain faktor hati yang tercurah 100% itu tadi. Ada faktor lokasi, inovasi, promosi, produk, servis, dan lain-lain dan lain-lain.

Kalau dulu saya suka tegas bilang sama yang minta saran bisnis F&B nomer satu untuk selalu konsisten, kali ini saya merasakan sendiri memang konsisten itu hal yang sulit ya. Dulu saya selalu bilang “jualan mesti konsisten, jangan hari ini buka besok engga, jangan banyak libur, harus buka terus”. Kali ini saya merasakan sendiri yang namanya short of human resource sehingga ya memang sekali dua kali harus tutup warung karena adanya keterbatasan. Begitulah ya, seringkali kita mesti ngerasain jalan di sepatu orang dulu untuk tau gimana rasanya jadi dia.

Meanwhile, please wait for an exciting news from Sarinande Kitchen Bali šŸ˜‰

“Aku Nggak Mau Jualan Makanan Kayak Mama Kalau Udah Besar Nanti”

“Aku sih nggak mau jualan makanan kayak mama kalau aku udah besar nanti” – begitu kata Biyan anak saya yang cuma satu-satunya itu. Yang namanya hati sempat mencelos juga waktu saya dengar dia bilang begitu. Bukan apa-apa, tadinya saya sempat merasa ini mungkin pekerjaan yang paling menyenangkan yang pernah saya kerjakan, dan saya ingin nanti dia bisa meneruskan apa yang pernah saya mulai ketika umur dia masih di bangku SD kelas 6 (ya kita aminkan aja bahwa jual-jualan makanan ini bisa bertahan setidaknya sampai 2 generasi ya kan?).


“Aku kira jualan makanan itu hanya soal masak dan dagangnya aja, tapi urusan mama kayaknya lebih dari itu dan BANYAK BANGET MAM” – katanya lagi.

Ya memang iya sih. Dulu waktu mulai berdagang makanan saya juga berpikir begitu, masak yang enak, jualan, promo-promo di socmed, hello-hello sama customer yang makan, repeat terus begitu.

Ternyata enggak.

Berdagang makanan ternyata artinya kamu mesti dealing sama manusia lain. Ada supplier, ada karyawan, ada landlord, ada customer, ada pengangkut sampah, ada teknisi listrik, ada tukang, ada kurir, dan rentetan orang lain yang mau nggak mau bersinggungan erat dengan dagangan kamu. Dan tentu saja, nggak semuanya klik dengan baik sama kamu. Ada yang karena gaya bicara yang berbeda, ada yang karena adat istiadat yang berbeda, ada yang karena maksud yang berbeda, ada karena ya emang nyebelin aja.

Pekerjaan ringan yang rutin saya lakukan sejak 5 tahun lalu berjualan makanan adalah posting jam operasional warung di social media. Ini bukan berarti kemudian tidak ada yang nanya di DM “Kak bukanya jam berapa ya?”. Kalau mengikuti kata hati rasanya ingin : ITU BACA UDAH DITULIS! Tapi ga bisa karena berdagang artinya bukan hanya pribadi kita aja yang kita bawa depan publik. Karenanya saya selalu menjawab dengan baik tapi sambil menambahkan bahwa keterangan tersebut sudah ada di profile IG, di Google, dan IG story. Tadinya saya berpikir mencerdaskan kehidupan bangsa bukan kewajiban pedagang makanan seperti saya, tapi kemudian saya berpikir lagi, mungkin ini adalah sedikit yang bisa saya lakukan untuk menggerakkan orang-orang agar mau membaca.

Celetukan Biyan di atas sebetulnya muncul saat saya harus membalas DM “boleh bawa binatang peliharaan ke warung Kak?”. Menulis ini aja membuat saya menarik napas cukup panjang. Pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk dijawab. Karena kalau saya jawab iya, warung saya kemudian seolah-olah pet friendly padahal sebetulnya tidak terlalu karena nggak punya kebun (ini lagi cerita warung di Bandung). Kalau saya jawab nggak boleh, ya sebenernya bukan ga boleh juga, tapi kadang kalau pas warung lagi penuh, otomatis orang duduk berdekatan, bahkan tak sekali dua kali harus share meja dengan tamu lain, jadinya yaa kalau ada yang bawa binatang peliharaan pasti mengganggu.ā€‚Tapi nanti kalau ditegur mungkin saya akan dapat jawaban “lho katanya boleh?!”. Begitulah, serba salah.

Berdagang makanan juga membuat saya harus menerima komplenan perihal parkir. Padahal sebagai warung yang belum punya basement 1 dan 2 untuk parkir, petugas parkir yang ada di sekitar warung saya di Bandung dan Bali bukan karyawan kami sehingga sulit juga untuk mewajibkan mereka melakukan apa yang saya mau. Belum lagi parkir memang selalu jadi masalah ketika ramai, apalagi warung di Bandung bertetangga dengan banyak tempat makan, tempat jajan oleh-oleh dan tempat ngopi. Saya menyebut ini happy problem karena sepusing-pusingnya dikomplen soal parkir, pasti lebih pusing kalau sama sekali nggak ada yang parkir karena nggak ada yang mampir ke warung kita. Duh amit-amit dulu yuk *ketuk ketuk meja*.

Tapi ya berdagang makanan memang begini adanya. Bukan hanya perihal masak yang enak lalu ada yang beli, senang, besok ulangi lagi, terus begitu. Saya pernah bilang pada salah satu karyawan “buka warung itu mirip seperti menyetir mobil jarak jauh, kita harus terus jalan tapi ga boleh lupa liat ada apa di kiri kanan, ga boleh lupa cek kondisi mobil, apa ban perlu diganti, apa perlu diisi angin, apa perlu diisi bensin,ā€‚mungkin kadang kita bisa ngebut tapi kadang kita mesti memperlambat laju sedikit”.

Jadi seneng nggak Shas berdagang makanan?
Ya senenglah. If there is life after life, maybe I’d do this all over again (kalau nggak laku jadi super model)

Makanan Dari Hati yang Hati-hati

Tulisan ini ada karena beberapa kali baru-baru ini saya lagi lumayan rajin mendatangi restoran-restoran baru di Bandung yang memang menarik untuk dicoba ; tempatnya bagus, areanya hampir selalu strategis, dan buku menu mengkilap dengan puluhan menu, jenis makanannya banyak banget. Ada pula yang masih bertahan dengan “silakan di scan untuk menunya Kak”, membuat saya merasa sedikit lebih tua karena ternyata saya masih lebih suka memegang buku menu betulan ketimbang melihatnya di henpon saya. Apalagi ternyata sinyal henpon saya di restoran itu kurang bagus lalu pas kebuka, ternyata bukan landing page tapi doogle drive yang (mungkin) gratisan. Tapi itu soal lain, hari ini kita bukan mau ngobrolin soal scan-scan menu. 

Read More

Dari Mana Datangnya Food Blogger?

Beberapa hari belakangan ini netyzen lagi kompak banget membahas seorang food blogger/vlogger yang berkesan enggan membayar saat makan, bahkan berharap dijamu oleh pemilik tempat makan. Ditambah lagi dengan perkataan katanya review yang bisa diberikan nilainya tak ternilai! Memang bisa bayar berapa kalau mau bayar?

Ya komentar begitu di tempat umum sih habis dirujak ya oleh netyzen. Komentar kemudian melebar menjadi “ah makanan yang di-review pun nggak enak kok, ternyata bayaran”, “ah kirain mau bantu memajukan UMKM, ternyata bayaran juga”.

Saya sih jelas tidak setuju dengan perkataan “review ini tak ternilai harganya” apalagi kalau ditambah “memangnya bisa bayar berapa?”. Tapi perihal postingan yang dibayar, kita mungkin lupa bahwa kita-kita juga yang membuat para food vlogger ini kemudian punya audiens yang banyak, kita juga yang membuat pendapat mereka jadi “didengar”. Ya audiens-nya juga yang membuat banyak pemilik tempat makan mau membayar mereka untuk mencoba makanan dan kemudian di-review. Apalagi dengan adanya testimoni “sejak didatangi food vlogger A”, dagangan saya semakin laris!

Kemudian sampailah kita pada pertanyaan “memangnya salah ya kalau terima bayaran untuk review makanan?”

Read More

Dewasa + Bijak = Sulit

Semasa muda dulu saya tumbuh dari anak kecil sampai remaja tanggung dan akhirnya remaja beneran yang suka khawatir kalau mengungkapkan apa yang ada di hati dan kepala saya. Takut salah, takut orang tersinggung, takut diterimanya lain, takut dibilang jahat, dan takut-takut lainnya. Yang kemudian pada akhirnya banyak pendapat dan pemikiran yang saya simpan untuk diri sendiri, atau setidaknya hanya dibagi bersama teman dekat saja.

Akibatnya?

Read More

Mau Bikin Semua Orang Senang? Jangan Jualan Makanan.

Butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa membuka usaha, terutama usaha makanan (karena kebetulan saya jualannya makanan) memang tidak mungkin membuat semua orang senang.

Sejak menulis soal makanan di surgamakan dulu, saya menyadari bahwa makanan adalah satu hal yang sangat relatif. Itu sebabnya saya nggak pernah menulis tentang makanan yang nggak enak. Nggak enak ya diem-diem ajalah, kecuali teman dekat yang japri, baru saya bilang. Lagipula buat saya, sering kali makanan itu bukannya nggak enak tapi nggak cocok sama selera kita.

Waktu pertama kali membuka @ciciclaypot dulu, saya suka kepikiran sampe ga bisa tidur (oke ini dusta) kalau ada yang bilang ā€œmakanan lo kurang enak hari iniā€ atau ā€œkok kuah mie lebih asin daripada biasa?ā€ Atau ā€œah kalau bukan lo yang masak, rasanya kurang sip. Biasanya saya kemudian segera inspeksi ke dapur mencari apa yang salah. Biasanya pula saya tidak menemukan yang salah, semua dikerjakan sesuai standar, masakan dimasak sesuai takaran yang biasa. Perlu waktu lumayan lama untuk saya kemudian menyadari bahwa memang tidak ada yang salah, tapi makan memang tidak pernah hanya urusan di lidah dan mulut saja.

Read More

Kopi, Seni dan Kita-kita yang Tidak Mengerti

Pernahkah kamu masuk ke coffee shop, lalu bingung mau pesan apa? Kemudian pesan espresso dan kaget karena datengnya dalam cangkir yang sangat kecil dan pas diminum naudzubillah pahit!

Atau pernahkah kamu pesan secangkir coffee latte karena kamu pikir ā€œah ini ada susunya, pasti tidak terlalu pahitā€, tapi kemudian ternyata masih pahit juga sehingga kamu terpaksa minta gula cair tambahan pada baristanya?

Atau mungkin kamu pernah duduk di sebuah kedai kopi sambil menguping obrolan bar antara barista atau pemilik kedai dengan konsumen lain tentang bagaimana biji kopi yang ini ā€œbody bangetā€ ā€œnote-nya terasa bangetā€ atau ā€œover roastedā€ atau ā€œkarakter kopi daerah sana emang begitu sihā€

Contrast Coffee Bandung, Februari 2021
Read More

Situasi : Survival Mode

Pernah nggak bertanya-tanya kenapa di masa (mestinya) sulit berjualan makanan karena banyaknya regulasi yang berkaitan dengan protokol kesehatan ini (yes yes those magic words) kok masih ada aja teman-teman pengusaha makanan yang buka usaha baru? Usaha baru ini bukan dalam bentuk berjualan makanan frozen ya, tapi usaha buka tempat makan baru, buka tempat ngopi baru. Entah kalau di kota-kota lain, kalau di Bandung sih adanya drama pandemik ini nampaknya tidak (terlalu) menyurutkan hasrat para pengusaha untuk membuka tempat makan baru.

Read More

Apa Yang Normal Dari New Normal?

Waktu pertama tau bahwa harus diam di rumah untuk 2 minggu kemudian jadi 1 bulan kemudian jadi 2 bulan, saya pikir saya akan menghasilkan beberapa tulisan di blog. Baik tulisan baru maupun tulisan-tulisan perjalanan yang tertunda. Nyatanya waktu saya habis untuk berjualan frozen food-nya Cici Claypot, untuk Netflix-an, untuk video call-an dengan teman-teman dekat, untuk tidur siang berlama-lama, juga untuk meratapi situasi kok begini-begini amat.

Tapi gapapa, katanya pandemi ini nggak membuat kita harus produktif terus-terusan. Udah bisa survive aja udah bagus.

Saya pernah ngetweet ini beberapa hari sebelum Lebaran ;

Pesan Untuk Rayes Mahendra yang Tak Centang Dua

Rayes,

Pagi itu aku terbangun dan langsung ingat kamu. Tumben-tumbennya di tengah wabah yang melanda dan situasi yang kian ajaib ini aku tak mendengar sedikit pun pesanmu di handphone-ku. Tapi begitu message whatsapp ku bahkan tak centang dua dan last seen whatsapp mu 19 Maret 2020 lalu kakiku udah lemes duluan. Ditelpon pun nggak nyambung sama sekali, di SMS apa lagi.

Read More