Beberapa hari belakangan ini netyzen lagi kompak banget membahas seorang food blogger/vlogger yang berkesan enggan membayar saat makan, bahkan berharap dijamu oleh pemilik tempat makan. Ditambah lagi dengan perkataan katanya review yang bisa diberikan nilainya tak ternilai! Memang bisa bayar berapa kalau mau bayar?
Ya komentar begitu di tempat umum sih habis dirujak ya oleh netyzen. Komentar kemudian melebar menjadi “ah makanan yang di-review pun nggak enak kok, ternyata bayaran”, “ah kirain mau bantu memajukan UMKM, ternyata bayaran juga”.
Saya sih jelas tidak setuju dengan perkataan “review ini tak ternilai harganya” apalagi kalau ditambah “memangnya bisa bayar berapa?”. Tapi perihal postingan yang dibayar, kita mungkin lupa bahwa kita-kita juga yang membuat para food vlogger ini kemudian punya audiens yang banyak, kita juga yang membuat pendapat mereka jadi “didengar”. Ya audiens-nya juga yang membuat banyak pemilik tempat makan mau membayar mereka untuk mencoba makanan dan kemudian di-review. Apalagi dengan adanya testimoni “sejak didatangi food vlogger A”, dagangan saya semakin laris!
Kemudian sampailah kita pada pertanyaan “memangnya salah ya kalau terima bayaran untuk review makanan?”
Ya tentu saja tidak.
Orang cuma kaget karena boleh dibilang kalau food vlogger adalah profesi yang bisa dinilai baru. Waktu kecil dulu, kamu (terutama yang seumur denganku) pernah ga bilang cita-citanya ingin jadi food vlogger? Engga kan? Yah karena kita tadinya memang nggak menduga bahwa pekerjaan yang nampaknya hanya makan, komentar divideoin, diposting di socmed kemudian bisa menjadi ladang uang yang lumayan menggiurkan.


(Mbaknya juga dulu pernah hobby motret makanan lalu ditulis di blog)
Kita mungkin lupa kalau untuk membuat video yang menarik, yang bikin kamu betah nontonnya memerlukan biaya yang mungkin ga sedikit. Diperlukan gadget mumpuni untuk mengambil footage yang bagus, bahkan lama-lama diperlukan crew untuk membantu mereka mengambil footage. Ini belum sampai urusan edit mengedit ya, baru perihal mengambil gambar. Nah proses edit bisa lebih repot lagi karena memerlukan waktu, skill dan tentu perangkat lainnya dari hardware sampai software-nya.
Oh kamu mau bilang “banyak kok food vlogger yang cuma pake henpon biasa, ga diedit serius, ga pake crew, tapi review-nya dijamin ciamik”. Iya, tentu saja ada, saya menyebutnya keberuntungan. Tapi coba lihat berapa banyak food vlogger yang harus berupaya keras untuk membuat content yang kemudian jadi tontonan kamu saat makan, sebelum tidur, menunggu jemputan, dan saat ngantri jajan bobba.
It is unfair juga untuk berkomentar “lagian review dia nggak enak setelah aku coba”. Selain memang mungkin review-annya bayaran, jangan lupa kalau enak ga enak adalah SELERA. Selera kamu mungkin berbeda sama selera dia, yang dia bilang enak bisa aja jadi nggak enak di lidahmu. Belum lagi kalau kamunya lagi not in a good mood seperti tulisanku yang satu ini. Seorang teman saya bilang “gw kalau udah cocok sama satu food vlogger, gw ikutin terus karena artinya selera dia mirip sama selera gw”. Boleh ditiru tipsnya ketimbang ngomel “katanya enak pas gw coba biasa aja”.
Saya pribadi melihatnya mestinya bisa ada dua macam food blogger/vlogger/instagrammer :
1. Yang isi postingannya berupa INFO
Jadi ga peduli apakah makanannya enak atau kopinya sedap atau tempatnya cozy apalah-apalah, yang pasti nih gw infoin bahwa ada tempat baru buka di kota A, jalan B, ini akun instagramnya, silakan cek sendiri. Bisa juga ditambah informasi “tempatnya enak buat kerja” tanpa harus melebih-lebihkan “tempatnya enak buat kerja, kopinya sedap, tempat parkirnya luas, harganya murah, staff-nya friendly, interiornya instagramable, kids friendly, makanannya enak sekali dll dll” sampe tempat tersebut terdengar sempurna padahal yang sempurna itu hanyalah…..yak betul, Gusti Allah.
Teman-teman yang suka ngopi tentu familiar dengan akun @gemarngopi. Sesuai nama akunnya, Bu Yanty pemilik akun ini memang hobby-nya ngopi dan senang menelusuri tempat-tempat ngopi baru. Kalau ditanya “coffee shop paling favorit yang mana Bu?”, jawabannya selalu menggelitik tapi fair “ya liat aja mana yang sering saya datangi berulang-ulang”. Memberikan informasi tempat ngopi di Bandung (dan beberapa kota lain) tanpa harus review ngebagus-bagusin, seada-adanya aja.
2. Yang isi postingannya berupa REVIEW
Paling fair ya memang kalau dibayar untuk review ya memberi keterangan sih, bisa dengan cara hashtag #ad, atau bisa juga ditulis terang-terangan, kan keputusan mau mampir apa engga ke tempat itu tetep ada di tangan audiens. Mau mampir boleh, nggak jadi mampir juga nggak apa-apa.
Karena perlu diakui bahwa nggak semua food blogger/vlogger/instagrammer ini ahli membungkus review bayaran dengan sedemikian rupa sehingga terasa natural yakan. Dan nggak semua audiens juga cukup bijak untuk membedakan mana review bayaran mana review yang jujur.
BTW! Pewawancara modelan Samuel siapa ini tuh memang pinter membuat suasana wawancara kayak ngobrol ama temen ya. Saya kok hampir pasti merasa kalau Magdalena ini (eh ya ampunnnn jadi kesebut nama) pas wawancara itu berasa kayak lagi ngobrol sama temennya aja gitu, jadi mungkin ga kekontrol, atau kelepasan. Saya menulis gini sebagai orang yang suka kelepasan cerita kalau terlanjur merasa nyaman sama orang (tetot! tolong jangan selipan curhat).
Jadi kesimpulannya, mau marah karena dia bilang “review-nya tak ternilai” ya boleh, tapi ya jangan marah kalau apa yang dia bilang enak ternyata menurut kamu nggak enak. Bukan hanya karena ternyata review-nya bayaran, tapi ya bisa aja seleranya beda. Marah boleh, marah-marah jangan ^o^