Kopi, Seni dan Kita-kita yang Tidak Mengerti

Pernahkah kamu masuk ke coffee shop, lalu bingung mau pesan apa? Kemudian pesan espresso dan kaget karena datengnya dalam cangkir yang sangat kecil dan pas diminum naudzubillah pahit!

Atau pernahkah kamu pesan secangkir coffee latte karena kamu pikir “ah ini ada susunya, pasti tidak terlalu pahit”, tapi kemudian ternyata masih pahit juga sehingga kamu terpaksa minta gula cair tambahan pada baristanya?

Atau mungkin kamu pernah duduk di sebuah kedai kopi sambil menguping obrolan bar antara barista atau pemilik kedai dengan konsumen lain tentang bagaimana biji kopi yang ini “body banget” “note-nya terasa banget” atau “over roasted” atau “karakter kopi daerah sana emang begitu sih”

Contrast Coffee Bandung, Februari 2021

Kalau iya, kamu tak sendiri. Saya pun pernah mengalaminya, bahkan ketiganya dan masih banyak pengalaman-pengalaman ngopi lainnya yang membuat saya merasa “ni orang pada belajar soal kopi di mana sih kok pinter-pinter amat?”. Sementara yang saya tahu hanya kopi enak dan tidak enak. Alasannya pun saya nggak paham. Kenapa kopi ini bisa enak sementara kopi lain kok nggak. Nggak usahlah bahas soal body, notes, acid endesbray endesbrey.

Sekarang pertanyaan lain ; pernahkah kamu pergi ke sebuah museum kemudian mendapati orang-orang terpaku pada satu lukisan atau instalasi seni dalam waktu lama, angguk-angguk dan nampaknya berpikir dalaaam sekali, pokoknya ndak bisa diganggu.

Atau pernahkah kamu bingung kenapa sebuah karya seni terjual mahal dan dikagumi banyak orang sampai jadi bahan pembicaraan baik di social media maupun di kedai kopi?

Atau pernahkah kamu pergi ke sebuah pameran seni hanya karena teman-teman mengajak dan kemudian tak satupun nama senimannya yang kamu kenal sementara teman-temanmu berdiskusi ngobrolin para senimannya seperti ngobrolin teman sepenongkrongan.

Ini pertanyaan terakhir ; pernahkah kamu ingin pergi ke sebuah pameran seni hanya karena pameran tersebut terus menerus menjadi bahan pembicaraan di social media dan di kalangan teman-teman sendiri sehingga kemudian akhirnya kamu merasa FOMO alias Fear of Missing Out kalau kamu ga ikutan pergi ke sana sementara pas sampe sana kemudian bingung sendiri mau ngapain akhirnya ya udah foto-foto aja.

Kalau jawabannya iya, lagi lagi kamu tak sendiri. Saya pun begitu, Saya yakin bukan cuma saya, pasti banyak di antara kita yang merasakan hal yang sama apalagi belakangan ini pameran seni atau art exhibition lagi banyak banget di mana-mana dan tempatnya pun ga selalu di art gallery, bisa di mall, di aula umum, bahkan lagi-lagi, di tempat ngopi.

Lalu wajar kalau semua ini membuat kita jadi bertanya-tanya.

“Jadi kalau gw nggak paham kopi, nggak boleh ngopi di kedai kopi yang banyak peminum kopi seriusnya? Bolehnya di Kopi K*nang*n aja yang rasa kopinya manis-manis dan lebih mudah dipahami itu?”

“Jadi kalau gw nggak paham seni, sebaiknya gw ga usah dateng-dateng lagi ke pameran seni ketimbang udah sampe sana dibilang orang cuma mau foto-foto doang biar eksis?”

Jadi gimana dong?

Menurut hemat saya yang jarang-jarang hemat ini, kalau ingin ngopi, pergi aja ngopi. Kalau mau ke pameran seni, pergi aja ke sana. Perihal apa yang orang bilang nggak usah terlalu digubris.

Menurut hemat saya lagi, kita-kita ini semua selalu seperti anak kecil yang ingin tahu banyak hal, dan punya kemampuan mencoba banyak hal, bisa kok beli kopi secangkir 30.000 (yang sampai sekarang masih membuat ibu saya mengeryitkan kening sambil mengaduk kopi sachetan di rumah yang dengan 30.000 bisa dapat setidaknya 20 sachet – artinya 20x ngopi). Bisa juga kok bayar masuk pameran seni yang biasanya berkisar Rp. 50.000 – 200.000. Nggak mahal-mahal amat, bukannya mesti tiap hari juga pergi ke pameran kan.

Kita-kita ini lagi belajar kopi apa yang enak diminum setiap hari supaya katanya “my day starts with coffee”, “but first cofffee”, sampai “coffee yes, heartbreak no” dan ratusan quote-quote kopi yang membuat kita angguk-angguk dalam hati membatin “ngopi emang sepenting itu cuy!”.

Kita-kita juga lagi belajar mengapresiasi karya seniman-seniman muda yang keren-keren. Walaupun alasan kenapa kerutan kening kita berbeda satu sama lain. Ada yang saking kagum sama karyanya, ada yang berpikir keras “ini maksudnya apa sih?” – oke ini saya. Tapi setidaknya rasa kagum itu ada, kenapa kok dia bisa berpikir bikin ginian, berapa waktu yang dia habiskan untuk bikin karya itu, sampai “wah! Laku dengan harga setinggi itu?”

Pemikiran paling cetek dari otak saya adalah satu hari saya sempat bilang sama Biyan, anak semata wayang kesayangan saya itu “gimana kalau udah gede nanti kamu jadi seniman aja? Enak tuh kayaknya bikin apa aja nanti orang-orang angguk-angguk kayak yang ngerti kemudian kalau beruntung dibeli dengan harga tinggi”. Tentu saja omongan saya ini ditanggapi Biyan dengan muka “GA GITU CARA MIKIRNYA MAM”.

ArtJog, September 2022

Jadi semoga kita akhirnya sepakat, boleh kok ngopi walaupun nggak paham kenapa ada kopi yang enak dan ada kopi yang nggak enak. Kalau mau belajar juga boleh, banyak kok course belajar soal kopi dan bukan khusus buat yang mau jadi barista aja, boleh buat siapa aja. Kalau nggak punya budget buat kursus, belajar autodidak sama barista juga bisa. Walaupun iya sih ada barista yang suka nyebelin, tak sedikit barista yang dengan senang hati membagikan pengetahuan dan pengalamannya pada konsumen.

Saya sih tipe konsumen yang nggak mau repot dan nggak mau banyak komplen. Kopinya enak saya akan balik lagi, kopinya nggak enak ya nggak usah balik lagi. Lagipula kopi enak dan ga enak itu seringkali dipengaruhi juga sama mood kita hari itu, sama suasana kedai kopinya, sama palet lidah kita saat itu juga. Pernah minum kopi sehabis kumur-kumur pake obat kumur antiseptik B*tadine? Kalau belum pernah, jangan, soalnya jadi aneh rasa kopinya, seriusan.

Lagipula, kalau yang ngga ngerti kopi nggak boleh ngopi di kedai kopi, yang punya kedai ga akan jualan buat umum, palingan dia cuma akan ajak temen-temennya yang sama-sama ngerti kopi aja untuk ngopi di tempatnya.

Kalau seniman atau penyelenggara pameran nggak mau kita-kita yang nggak paham seni ini datang ke acaranya, nggak juga akan diiklankan berharap banyak orang dateng, taro aja hasil karyanya di satu tempat kemudian undang orang-orang yang sama-sama paham seni untuk menikmatinya.

Limanjawi Art House – September 2022

Jadi begitu, ngopi ya ngopi aja. Yang penting bayar dan jangan mecahin cangkir punya orang.

Dateng ke pameran seni dan mau foto-foto, ya dateng aja. Yang penting jangan pegang-pegang karya dan instalasi seni, kalau ada tulisan jangan motret pake flash, ya jangan dilakukan. Ga paham seni bukan artinya kemudian jadi masa bodo.

Ok jadi kapan kita ngopi bareng?


6 comments

  1. Ira · October 20

    akhirnyaaa Mbak Shasya kembali nuliiisss

    • Shasyatama · October 20

      Rasanya seperti turun gunung setelah 2 tahun tidak menulis, Ra.
      Makasi ya udah mampir!

  2. wiews · October 20

    Mau komen pertamax, taunya telat :p
    Aku jg taunya kopi enak dan gak enak, toss! 😆

    • Shasyatama · October 20

      Ga harus pertamax, kamu baca aja aku udah seneng banget.
      Hayuk ngopi bareng! Kemarin mau disusulin eh ternyata salah lokesyen

  3. asriFit · November 9

    Selama baca tulisan ini, yang kebayang malah gurih dan hangatnya Mie Kriuk Siram Sapi pake tambahan telor! Semangat terus Teh Shasyaa, kalau kata semua temenku yang kuajak kesana sih, mereka gabisa move on dari Cici Claypot 🥰🥰🥰 Mungkin aku harus ingatkan juga untuk tidak lupa nulis di google review (bari jeung aku ge belum weyyy) 🙃

    • Shasyatama · November 11

      Achi thank youuu. Sampai ketemu lagi di warung. Atau di warungnya Anggi. Atau di tempat ngopi yah : ))

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s