Begitulah yang tertera di sebuah tembok yang kami temui di Karangturi, Lasem, Kabupaten Rembang. Menurut Pak Ramelan, guide kami hari itu, warga asli Lasem memang banyak yang sudah hijrah ke kota-kota besar seperti Semarang, Jakarta, Surabaya dan lain-lain tanpa menjual rumah peninggalan keluarganya di sana. Alhasil ada banyak rumah tua yang ditinggalkan hanya dengan penunggunya saja. Penunggu ini adalah orang-orang yang sudah bekerja pada pemilik rumah selama bertahun-tahun. Pemilik rumah menolak menjual rumahnya karena mereka percaya bahwa keberadaan rumah inilah yang membuat mereka berhasil dalam usaha-usahanya.
Keadaan rumahnya macam-macam, ada yang masih terawat, ada yang sudah terbengkalai. asal bisa ditinggali dan tidak kehujanan saja sudah bagus. Keadaan ini membuat Lasem menjadi semakin memesona karena pagar, gerbang, pintu yang tua itu seolah menyimpan cerita dan sejarah tentang kejayaan Lasem di masa lalu.
Rumah Opa Lo adalah salah satu rumah tua yang kami kunjungi. Saat kami mengetuk pintu, Opa Lo dengan susah payah berjalan (sebenarnya menyeret pantatnya) untuk membukakan pintu. Rasa bersalah karena membuatnya susah-susah membuka pintu untuk kami sirna ketika melihat wajah cerianya. Beliau rupanya senang menerima tamu di rumahnya. Tak hanya sampai halamannya saja, beliau mempersilakan kami masuk ke dalam rumah untuk melihat keadaan rumah yang katanya tak pernah direnovasi sejak dibangun itu.
Para fotografer atau Instagrammer pasti suka rumah ini. Fotogenic dan Instagrammable. Bagian dalam rumah nyaris seoerti gudang, barang di mana-mana. Opa Lo nampaknya tipe orang yang tidak pernah membuang barang tak peduli masih dipakai atau tidak. Saya sampai tidak berani bertanya di mana sebenarnya dia tidur setiap malam.
Di bagian dalam rumah terbaring seorang Oma yang katanya sedang terbaring sakit, karenanya saya menolak melihat beliau di kamar. Bukan, ini bukan istrinya, Opa Lo hampir berusia 90 tahun dan sampai sekarang masih single alias jomblo.
Kesehariannya ditemani dan dibantu oleh Bi Menuk yang sudah mengabdi pada taukenya (tauke=boss) selama lebih dari 40 tahun. Ketika saya tanya berapa umur Bi Menuk, dia tersenyum dan bilang “saya ndak tau”
Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Rumah Merah. Dinamakan rumah merah karena sejak dibeli oleh seorang pengusaha lokal Lasem, rumah ini dicat merah dan ada tulisan Tiongkok Kecil Heritage di beberapa sisi dindingnya. Rumah yang tadinya dimiliki oleh sebuah keluarga asli Lasem ini bsudah beberapa tahun belakangan dibeli Rudy Hartono dan dijadikan pusat kebudayaan dan aktivitas berbau heritage di Lasem.
Selain itu, terdapat 4 kamar yang bisa kamu sewa kalau kami tertarik tinggal di rumah kuno ini. Masing-masing kamar bisa menampung 4 orang dengan 2 ranjang springbed beukuran besar. Harganya sekitar 400-500 ribu saja. Cukup murah apalagi dengan ditukar pengalaman menginap di rumah yang megah ini. Ingin coba menginap di sini? Mereka sudah terdaftar di airbnb lho.
Di bagian atas rumah terdapat gudang kecil yang sedianya digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga. Ketika saya tanya Pak Ramelan “apa sih barangnya? guci-guci antik?”. Pak Ramelan berbisik, “candu”, katanya.
Ketika kami datang siang itu, sedang diadakan persiapan untuk pesta pertunangan.
Ini mengingatkan saya akan Blue Mansion di Penang, yang dijual oleh keluarga Cheong Fa Tze kepada orang lain dan kemudian dijadikan guest house, museum pusat peninggalan Penang dan juga dipakai untuk venue pernikahan, atau pesta apa saja. Membayangkan pesta bertema vintage di tempat yang vintage beneran memang nampaknya ide yang sangat menarik.
Bagian halaman Rumah Merah diramaikan oleh beberapa patung besar yang katanya dipakai untuk pertunjukkan tari barongsai,
Sedikit cerita dari Pak Ramelan, tradisi barongsay khas cina ini baru boleh dipertunjukkan lagi setelah Gus Dur menjadi presiden sekitar tahun 2016, sebelumnya pertunjukkan ini dilarang dipertontonkan sama sekali. Bahkan orang-orang keturunan Cina di Lasem dilarang keras berbahasa Cinta, karenanya mereka yang satu generasi dengan beliau jarang sekali ada yang bisa berbahasa Cina. Wajah Pak Ramelan agak sedikit berubah ketika bicara soal ini. “Karena Gus Dur, kita bisa menonton barongsay lagi”, ulangnya.
Dari Rumah Merah di Karangturi, kami kemudian berkendara agak jauh (sekitar 15 menit) menuju workshop pembuatan batik tulis yaitu Pusaka Beruang. Terletak di balik sawah hijau yang membentang, workshop ini seolah tersembunyi, namun di bagian dalam banyak ibu-ibu yang sedang mengerjakan batik yang indah-indah. Dan memang betul, semua ditulis tangan. Sekarang saya mengerti kenapa jenis batik tulis memang harus dijual mahal. Untuk membuat satu lembar batik saja menghabiskan waktu berbulan-bulan. Biyan, anak saya tak tahan bertanya “itu bikinnya susah ya Bu?”. Setelah kami pulang, dia bilang workshop batik itu adalah tempat paling menyenangkan selama di Lasem. Suasana ibu-ibu yang sedang bekerja sambil terkadang bersenda gurau di sebuah aula besar memang bikin hati hangat sih.
Ada sebuah pohon besar yang menarik perhatian kami di halaman workshop batik Pusaka Beruang ini. Namanya pohon trembesi, katanya. Saking besarnya, diperlukan 7 orang dewasa untuk memeluk batangnya secara keseluruhan. Sambil mendengar cerita dari Pak Ramelan, kami duduk di bawah pohon.
Menurutnya, area di bawah pohon ini adalah tempat bersembunyi para pendekar Lasem ketika perang melawan Belanda, karena tempat ini tersembunyi dari luar namun bisa memantau keadaan musuh di luar sana. Di sisi sebelah kanan terdapat makan Tanoko, seorang pendekar yang tewas di tangan Belanda. Menjadikan pemandangan yang indah namun sedikit mistis.
Pohon ini dikenal juga sebagai pohon moro seneng. Karena duduk di bawah pohon kita akan jadi seneng. “Ya seneng toh, wong teduh kan?”, kata Pak Ramelan.
Dari akun Instagram @kesengsemlasem saya melihat ada makanan khas Lasem yang disebut Yopia, maka saya pun mendesak Pak Ramelan untuk mengajak kami kesana. Kami memborong Yopia yang enak banget ini sampai rasanya nggak mau makan apa-apa lagi. Bentuknya seperti pia tapi dengan kulit yang jauh lebih tipis, isinya kosong tapi di permukaan bagian dalamnya ada lapisan gula merah. Semoga menjelaskan, karena saya belum pernah lihat Yopia dijual di tempat lain.
Yopia ini saya bawa ke Warung Kopi Djinghay yang nampaknya cukup terkenal di Lasem karena setiap saya bercerita sama orang bahwa saya pergi ke Lasem, orang-orang pas tanya “mampir ke Kopi Djinghay nggak?”, Di warung kopi tradisional ini kami akhirnya mencoba yang namanya Kopi Lelet. Yang khas dari kopi lelet adalah ampasnya yang lembut dan bisa dileletkan ke rokok sehingga jadi seperti ukiran. Sayang kami nggak sempat mencobanya karena terlalu sibuk menikmati Yopia dengan kopi panas.
Main ke Lasem rasanya tak pas tanpa mencoba makanan tradisionalnya. Berhubung jaraknya dekat degan Rembang, makanan khas nya nggak jauh-jauh, kami mencoba yang namanya Lontong Tuyuhan. Sebenernya ini kayak Lontong Kari aja sih, bedanya dimakan bersama Tempe yang direbus dan dipotong panjang. Ada pula potongan ayam di dalamnya. sayang sekali tidak ada sambal untuk membuatnya semakin sedap.
Oh tentu saja kami juga harus mampir ke kelenteng yang katanya paling tua di seluruh tanah jawa yaitu Kelenteng Cu An Kiong. Kelenteng ini juga pernah dipakai untuk syuting film Ca Bau Kan. Kamu nonton kan film itu? Salah satu film Indonesia terbaik, menurut saya.
Cu An Kiong memang cantik. Namun bukan cuma itu, kelenteng ini dipakai bersembahyang untuk memuja 3 dewa yaitu Tian Shang, Sheng Mu dan Panji Margono. Kamu boleh memotret seisi kelenteng tapi tidak altar penyembahannya, menurut pengurus vihara, dewa mereka tak suka dipotret.
Berjalan kaki dari Cu An Kiong, kami diantar ke sebuah tempat bernama Lawang Ombo. Rumah berukuran besar ini dulunya adalah sebuah rumah candu. Ada lubang bawah tanah yang jaman dulu dipakai sebagai akses membawa candu dari dermaga langsung ke dalam rumah, tentu saja untuk menghindar pemeriksaan para tentara belanda. Lubang ke arah sungai ini masih ada dan tidak ditutup, hanya diperkecil saja agar tidak ada orang kejeblos lagi.
Rumah ini sekarang dimiliki oleh seorang kaya bernama Bapak Soebagyo dan pemeliharaannya diserahkan kepada Pak Gandor, seorang sesepuh Lasem yang juga bertugas mengawasi beberapa kelenteng lain di Lasem.
Pak Gandor menawarkan kami untuk bermalam di rumah itu, gratis kok, nggak usah bayar, katanya. Kamu bisa tidur di sini katanya sambil menujuk 2 ranjang besar yang tepat berada di sisi lubang ke arah sungai itu. Mmmmm nggak ah makasih 🙂
Di sisi rumah terdapat halaman luas dengan batu nisan yang cukup besar. Menurut Pak Gandor, kuburan itu kosong tanpa isi, hanya sebagai kamuflase untuk supaya para tentara Belanda tidak berniat memeriksanya. Padahal isinya ya candu yang dibawa dari Tiongkok lewat dermaga Lasem
Kunjungan kami di Lasem berakhir siang itu. Saya sih merasa kurang, lain kali akan datang lagi dan menghabiskan waktu berkililing Karangturi dengan sepeda, masuk ke lebih banyak rumah-rumah kuno, mengobrol dengan lebih banyak penduduk, dan mencoba lebih banyak makanan khasnya, yuk?
Yang mau jalan-jalan ke Lasem, tempat cantik ini bisa ditempuh dengan berkendara selama 3 jam-an dari Semarang. Kalau mau cari info lain soalnya, saya sarankan untuk follow :
@kesengsemlasem dan websitenya
Guide saya hari itu Pak Ramelan bisa dihubungi di no telepon : 081215943088, beliau akan dengan senang hati mengantarmu berkeliling sambil bercerita.
HAHAHAHAH Kenapa gak mau nginep di Lawang Ombo? :))
Duh aku dari tahun 2012 gak pernah kesampean loh ke sini.. Sebel.. Penasaran sama Batiknya, katanya bagus…
Dari semua foto-foto Mak Sha jadi makin pengen ke sana… Next time kalo ke sana bawa sambel Sefiin :))
Haha ya males aja tempatnya gelap gitu dan kalo malem kita ngapain coba? Uji nyali? 😄😄
Iya mestinya grup kita piknik kesana bawa sambal mamanya Sefin karena kubelum coba
Duh boleh tuh. Tapi kudu dadakan sih.. Biar terealisasi hahahaha
Rudy Hartono pemain badminton?
Kayaknya bukan tapi setelah lo nanya dipikir2 kok kayaknya mirip juga ya. Hmm
Aku dari sebelum married pengen ke sini ga kesampeaaan. Makasih cerita Lasemnya mbaaaa. Cocok buat bawa anak / bayi ga ya kira2?
*niat mau bawa Trah liburan*
Hai Rahne 🙂
Anak-anak sih pasti belum bisa menikmati karena nggak ada atraksi apa-apa ya, tapi kalau diajak pun nggak akan bikin susah karena jalan di sana nggak susah, paling keluar masuk rumah, nggak pake trekking2an kok :). Kalau mau hotel yang lebih nyaman buat anak-anak bisa menginap di Rembang, hanya dua puluh menitan ke Lasem.
Iyaaa, apalagi baby taunya ya ikut mboknya aja ya xD. Thanks mbaa
dari dulu emang penasaran sama Lasem. next time ke Semarang perlu disempetin sehari ke sini deh
Oiyaaa mesti disempatkan, aku suka sekali tempat ini. Semoga kamu suka juga 🙂
Makasih mbak, informatif banget. Udah lama jadiin lasem destinasi jalan2ku selanjutnya
Ah terima kasih, sama-sama. Semoga tulisan ini membuatmu jadi tambah pengen ke Lasem ya 🙂
Wah satu lagi tempat wajib kunjung ini kalo lg di Semarang. Thanks for sharing!
Terima kasih sama-sama, Dita 🙂
2 foto klenteng yang bawah, itu di lokasi lain ya ?
Hai, saya cuma mampir ke 1 kelenteng yaitu Cu An Kiong, jadi itu tempat yang sama kok.
Kalo di palembang, ada bangunan mirip juga di kampung kapitan. Instagramble.
Cuma kadang begitu menelusuri kisah jaman dulunya bisa bikin bulu bergidik.
Ah sayang ya waktu itu kita nggak sempat ke Kampung Kapitan, pasti menarik juga. Apalagi ada cerita yg bisa bikin bergidik 🙂
Lasem sepertinya lagi naik pamor. Beberapa temen lain lagi adain photowalk ke sana. Aku tadi juga barusan tanya teman asal sana. Sama seperti di ceritamu ini, Pasha.
Aku bahagia betul bacanya dari awal sampe akhir. Kebawa sama suasananya, di beberapa foto aku malah deg-degan.
Kak Sha, kalau pergi sendirian ke sana, ga segrup, dan ga pake guide, tetap dapet serunya ga ya?
Aw aku ikut bahagia baca komen kamu. Memang menyenangkan jalan-jalan di lasem ini. Selain liat-liat, aku banyak melamun juga di sana, tempatnya bikin pengen duduk duduk melamun begitulah.
Aku saran sih pake guide eda karena mereka yang tau rumah mana yang bisa terima tamu mana yang enggak. Dan mereka yg kenal pemilik/penjaga rumah jadi bisa minta dibukakan.
Saya suka baca tulisan di atas informatif. Saya akhir bulan ini ada rencana ke Lasem, Mau tanya kalau sewa guide itu biayanya berapa ya? Kalau jalan sendiri apa bisa mendapat akses seperti di atas? Terima kasih
Terima kasih mbak Xaverietta, senang kalau tulisannya informatif dan membuat ingin jalan-jalan ke Lasem. Guide saya kmrn tidak bilang harga persisnya berapa, tapi kurang lebih di 300-500 rasanya aman, dipertimbangkan juga Mbak pergi dengan berapa orang dalam satu group.
Saya sih saran pergi diantar guide karena mereka yang bisa antar mbak masuk ke rumah2 penduduk dan memperkenalkan kita dengan pemilik/penunggu rumah. Selain itu di sana juga nggak banyak petunjuk arah jalan. Selamat jalan-jalan ya
Teteh sayang, kalau menginap di Rembang, apakah harus sewa mobil untuk ke dan jalan-jalan sekitar Lasem?
Pak Ramelan, punya jasa mobil antar jemput kah Rembang -Lasem?
Terima kasih
Hahaha, aku sudah telpon Pak Ramelan, Teteh, done deal.
Ignore my question yah.
Ahahaha, kamu bergerak cepat yah rupanya, maafkan aku telat reply comment nya kemarin. Jadi akan merayakan Imlek di Lasem? Pasti seru katanya akan ada pertunjukkan sendra tari cina, aku aja ingin pergi lagi rasanya.
Tolong sampaikan salamku untuk Pak Ramelan ya, titip pesan selamat tahun baru dan semoga beliau sehat-sehat selalu.
Have fun di Lasem, jangan lupa jajan Yopia 🙂
Maklum Teh, impromptu trip, mendadak dangdut semua. Besok ku bersua dengan Pak Ramelan, 💋
Terbantu sekali denga blog-mu Teteh.
Waaah, ternyata asik banget cerita di Lasem ya mba… Aduhhh, itu beneran kalo liat tumpukan barang si Bapak kok berasa pingin jalanan metode apa ituu, yang beres2 rumah ala Alodita itu lo.. KOnmari?
haha kayaknya ga akan selesai 2 minggu beresin rumah si opa itu sih :))
Baca tulisannya berasa di lasem..
ah senangnya saya sudah membawa suasana Lasem di manapun kamu berada 🙂
Sangat informatif Mba.. minggu lalu kami ke Lasem berbekal cerita dari blog ini. Kami menginap 1 hr di Rembang dan 1 hr di Rumah Merah Lasem. Dan saya kurang puas, ingin balik lagi…
Hai noMmy senang sekali membacanya, saya juga masih belum puas, dan masih ingin balik lagi suatu hari nanti 🙂
Ke Pak ramelan bayar tidak ? Hehe