“Aku Nggak Mau Jualan Makanan Kayak Mama Kalau Udah Besar Nanti”

“Aku sih nggak mau jualan makanan kayak mama kalau aku udah besar nanti” – begitu kata Biyan anak saya yang cuma satu-satunya itu. Yang namanya hati sempat mencelos juga waktu saya dengar dia bilang begitu. Bukan apa-apa, tadinya saya sempat merasa ini mungkin pekerjaan yang paling menyenangkan yang pernah saya kerjakan, dan saya ingin nanti dia bisa meneruskan apa yang pernah saya mulai ketika umur dia masih di bangku SD kelas 6 (ya kita aminkan aja bahwa jual-jualan makanan ini bisa bertahan setidaknya sampai 2 generasi ya kan?).


“Aku kira jualan makanan itu hanya soal masak dan dagangnya aja, tapi urusan mama kayaknya lebih dari itu dan BANYAK BANGET MAM” – katanya lagi.

Ya memang iya sih. Dulu waktu mulai berdagang makanan saya juga berpikir begitu, masak yang enak, jualan, promo-promo di socmed, hello-hello sama customer yang makan, repeat terus begitu.

Ternyata enggak.

Berdagang makanan ternyata artinya kamu mesti dealing sama manusia lain. Ada supplier, ada karyawan, ada landlord, ada customer, ada pengangkut sampah, ada teknisi listrik, ada tukang, ada kurir, dan rentetan orang lain yang mau nggak mau bersinggungan erat dengan dagangan kamu. Dan tentu saja, nggak semuanya klik dengan baik sama kamu. Ada yang karena gaya bicara yang berbeda, ada yang karena adat istiadat yang berbeda, ada yang karena maksud yang berbeda, ada karena ya emang nyebelin aja.

Pekerjaan ringan yang rutin saya lakukan sejak 5 tahun lalu berjualan makanan adalah posting jam operasional warung di social media. Ini bukan berarti kemudian tidak ada yang nanya di DM “Kak bukanya jam berapa ya?”. Kalau mengikuti kata hati rasanya ingin : ITU BACA UDAH DITULIS! Tapi ga bisa karena berdagang artinya bukan hanya pribadi kita aja yang kita bawa depan publik. Karenanya saya selalu menjawab dengan baik tapi sambil menambahkan bahwa keterangan tersebut sudah ada di profile IG, di Google, dan IG story. Tadinya saya berpikir mencerdaskan kehidupan bangsa bukan kewajiban pedagang makanan seperti saya, tapi kemudian saya berpikir lagi, mungkin ini adalah sedikit yang bisa saya lakukan untuk menggerakkan orang-orang agar mau membaca.

Celetukan Biyan di atas sebetulnya muncul saat saya harus membalas DM “boleh bawa binatang peliharaan ke warung Kak?”. Menulis ini aja membuat saya menarik napas cukup panjang. Pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk dijawab. Karena kalau saya jawab iya, warung saya kemudian seolah-olah pet friendly padahal sebetulnya tidak terlalu karena nggak punya kebun (ini lagi cerita warung di Bandung). Kalau saya jawab nggak boleh, ya sebenernya bukan ga boleh juga, tapi kadang kalau pas warung lagi penuh, otomatis orang duduk berdekatan, bahkan tak sekali dua kali harus share meja dengan tamu lain, jadinya yaa kalau ada yang bawa binatang peliharaan pasti mengganggu. Tapi nanti kalau ditegur mungkin saya akan dapat jawaban “lho katanya boleh?!”. Begitulah, serba salah.

Berdagang makanan juga membuat saya harus menerima komplenan perihal parkir. Padahal sebagai warung yang belum punya basement 1 dan 2 untuk parkir, petugas parkir yang ada di sekitar warung saya di Bandung dan Bali bukan karyawan kami sehingga sulit juga untuk mewajibkan mereka melakukan apa yang saya mau. Belum lagi parkir memang selalu jadi masalah ketika ramai, apalagi warung di Bandung bertetangga dengan banyak tempat makan, tempat jajan oleh-oleh dan tempat ngopi. Saya menyebut ini happy problem karena sepusing-pusingnya dikomplen soal parkir, pasti lebih pusing kalau sama sekali nggak ada yang parkir karena nggak ada yang mampir ke warung kita. Duh amit-amit dulu yuk *ketuk ketuk meja*.

Tapi ya berdagang makanan memang begini adanya. Bukan hanya perihal masak yang enak lalu ada yang beli, senang, besok ulangi lagi, terus begitu. Saya pernah bilang pada salah satu karyawan “buka warung itu mirip seperti menyetir mobil jarak jauh, kita harus terus jalan tapi ga boleh lupa liat ada apa di kiri kanan, ga boleh lupa cek kondisi mobil, apa ban perlu diganti, apa perlu diisi angin, apa perlu diisi bensin, mungkin kadang kita bisa ngebut tapi kadang kita mesti memperlambat laju sedikit”.

Jadi seneng nggak Shas berdagang makanan?
Ya senenglah. If there is life after life, maybe I’d do this all over again (kalau nggak laku jadi super model)

Menengok si APRIL ke Pangkalan Kerinci

Pergi ke tempat baru selalu jadi hal yang menyenangkan buat saya. Apalagi kalau tempatnya membuat muncul pertanyaan semacam “mau ngapain sih ke sana?” “apa sih yang mau dikerjain di sana?”. Karena artinya, tempatnya nggak pasaran dan ada hal menarik yang memang bisa dikerjakan di sana.

Karenanya saat saya mendapat undangan untuk berkunjung ke Pangkalan Kerinci di Riau, saya langsung mengiyakan dengan rasa penasaran “apa sih yang bisa dilihat di sana?”

Read More

Owa-owa, Primata Romantis yang Nyaris Punah

Kata orang, kunjungilah tempat baru setidaknya setahun sekali. Tahun lalu, tempat yang saya kunjungi untuk pertama kali adalah Sumba dan Xiamen. Sumba karena pergi main sama Vira dan @t_ourjourneys, Xiamen karena #XiamenFamTrip bersama Xiamen Air.

Tahun ini, undangan pergi ke tempat baru datang dari PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (Indocement). Tak tanggung-tanggung, kami diajak ke komplek pabrik mereka yang ada di Tarjun. Kalau boleh jujur, pertama kali saya mendengar tempat bernama Tarjun ya dari Indocement. Desa kecil di wilayah Kelumpang Hilir ini terletak di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Ada dua pabrik besar di lokasi ini, yaitu Indocement, dan pabrik pengolahan minyak sawit yang cukup terkenal.

Lalu ngapain ke Tarjun?, – begitu pertanyaan yang saya terima dari teman-teman. “nengok bekantan”, begitu jawab saya sambil ketawa.

Read More

Bang Nebeng dong Bang Kesitu tu…..

Saya termasuk orang yang jarang menggunakan transportasi umum. Buat saya, transportasi umum di kita belum dapat diandalkan sebagai kendaraan yang aman untuk digunakan sehari-hari baik dari sisi keamanan saya sebagai pengguna (copet, orang iseng, dll dll) juga dari sisi waktu. Saat kita perlu datang tepat waktu ke meeting, ke kantor, jemput anak, atau sekedar janjian sama teman, transportasi umum rasanya masih sulit untuk diandalkan menolong kita tepat waktu sampai tujuan.

Namun tak dapat dipungkiri kalau kemacetan makin lama makin menyesakkan. Saya sebetulnya betah berlama-lama di mobil sendiri, asal ada AC, air minum dan lagu. Saya jarang sekali ngomel karena macet. Bahkan kadang-kadang, saya menikmati waktu-waktu menyetir sendirian sebagai me-time yang lumayan berharga di tengah-tengah kesibukan saya sebagai ibu dan pengusaha kecil-kecilan yang banyak acara, hehe.

Sayangnya, kemacetan saat ini mulai tak bisa lagi dinikmati sebagai me-time. Walaupun duduk dan menyetirnya tak repot untuk saya, namun sungguh banyak waktu saya yang terbuang di jalan. Mestinya bisa ke 4 tempat dalam sehari, sekarang hanya bisa ke 2 tempat itu pun pake telat nyampenya. Sungguh buang-buang waktu.

Read More

Tempat-tempat Asik di Belitung, Palembang, Bandung dan Lombok

Karena satu dan lain hal (ya mostly sih karena emang doyan), saya kebetulan lagi banyak jalan-jalan ke beberapa kota di Indonesia. Dari jalan-jalan ini kemudian saya menandai beberapa tempat yang karena menarik kemudian meninggalkan bekas dan kenangan yang manis di hati sekaligus saya tandai untuk akan dikunjungi lagi kalau saya punya kesempatan untuk datang ke kota itu lagi.

Ada yang karena dikunjungi bersama orang-orang tersayang kemudian jadi istimewa. Ada yang karena sudah lama sekali ingin saya datangi kemudian akhirnya terwujud, ada pula yang malah belum pernah saya dengar nama dan ceritanya tapi begitu berbekas di hati.

Ikuti terus cerita ini kalau kamu penasaran tempat-tempat apa saja yang saya maksud ya

Read More

Lyfe With Gojek

Sejak Gojek mulai beroperasional di Bandung, cita-cita saya cuma satu : beli Martabak Andir tanpa harus ngantri lama-lama di sana. Makanya begitu download Gojek, yang pertama saya lakukan tentu saja pesan Martabak ke Andir. Berhasilkah? Tidak. Di awal masa tayangnya, Gojek selalu gagal membelikan saya Martabak yang hits banget itu. Kadang-kadang katanya driver sudah belikan dan menuju rumah saya tapi tak pernah kunjung datang.

Gojek-Bandung1

note : gambarnya dari google

Read More

Kalau 3 Bulan Nggak Ngantor. Trus Ngapain?

Sudah 3 bulan ini saya berhenti kerja kantoran. Iya, setelah 15 tahun lebih jadi pekerja kantoran, akhirnya saya punya keberanian untuk beneran berhenti bekerja. Sebenernya keinginannya sudah ada dari dulu (ah kalau boleh jujur : keinginan ini muncul setiap saya bangun pagi untuk pergi ke kantor, setiap lagi mandi dan setiap hari minggu sore, tepat ketika saya sadar besok harus ngantor lagi setelah bisa santai sejenak selama weekend).

Artinya, keinginan berhenti ngantor memang selalu ada di benak saya.

Read More

Singapore. Nyoba Nginep di Capsule : Met, a Space Pod

Berhubung lagi agak sering bolak balik ke Singapore dalam rangka kerjaan (yang kemudian selalu diikuti dengan acara extend dalam rangka main-main), saya kemudian jadi suka cari-cari alternative menginap di Singapore yang selain nggak bikin bosen juga nggak ngajak merogoh kantong dalam-dalam alias ga mahal-mahal amat.

Kemudian saya nemu yang namanya Met, A Space Pod. Ngintip website nya eh kok lucu. Jadi ini semacam hostel yang boboknya di kapsul atau di pod, wihiiii lucu. Soalnya udah lumayan lama saya pengen coba The Pod yang ada di Bugis ini tapi belom ada kesempatan. Malah jadinya coba si Met ini duluan deh.

IMG_1754

Dari sisi lokasi, Met A Space Pod ini SANGAT MENYENANGKAN. Gimana enggak, posisinya persis di area Boat Quay, yang kalau malem-malem pemandangannya cakep banget bisa intip Marina Bay Sands segala. Plus bisa juga memandangi sungai di mana ada kapal-kapal cantik berwarna warni yang senantiasa hilir mudik.

View sunrisenya juga ga kalah cakep. Hampir mirip seperti nginep di hotel berbintang

IMG_1776

Kalau liat fotonya, kapsul di Met The Space Pod ini mirip mesin cuci yang bertumpuk-tumpuk. Kamu bisa pilih pintunya mau bukaan depan atau mau bukaan samping. Dengan pertimbangan kalau buka samping keluar masuknya akan lebih mudah, maka saya milih yang bukaan samping.

IMG_1784

Kapsul atau pod-nya sendiri bisa dibilang lumayan spacious. Kamu nggak cuma bisa tidur di dalamnya, tapi bisa juga sambil buka laptop buat main kerja, masih cukup luas juga kalau sambil tidur kamu mau ngecharge laptop dll. Namun menurut pengalaman saya yang tidurnya nggak bisa tertib, ngecharge laptop berujung kabelnya ketendang kaki sendiri kemudian copot.

Masing-masing pod dilengkapi dengan televisi, 2 usb port buat ngecharge, satu colokan juga buat ngecharge, 3 panel lampu yang bisa kamu pilih mau pake yang mana : lampu terang, lampu tidur warna biru, atau lampu tidur warna putih. Tentu saja saya pilih warna biru buat bobok. Biar berasa kayak astronot.

Pendeknya, tidur di kapsul atau pod ternyata asik juga, nggak bikin sesak napas padahal saya merasa agak-agak semi-semi klautrophobia, suka senewen kalau naik lift yang penuh. Tidurnya pun lumayan pulas kok sampe telat bangun. Kasurnya berkualitas cukup baik, bantalnya pun. Selimutnya juga hangat tapi adem, dan mereka menyediakan handuk tebal seperti layaknya di hotel yang lumayan bagus.

Menginap di Met A Space Pod artinya free flow juice, buah dan kopi-kopian. Ada area makan di lantai 4 yang bisa kamu kunjungi setiap saat. Di area ini juga ada tempat duduk lesehan kalau-kalau kamu mau buka laptop buat main atau nonton film kerja. Di luar jam sarapan juga suka masih ada roti lengkap dengan selai-selainya, saya tiba di sana cukup malam dan setelah mandi agak males keluar lagi, kemudian berujung ngemil roti 3 biji plus 2 cangkir teh tarik.

Oya ngomong-ngomong soal kamar mandi, walaupun kecil, tapi cukup nyaman kok. Ada air panas, dan tekanan air cukup keras, cukup banget buat saya, walau kamu harus pinter-pinter menyusun barang bawaan ke kamar mandi biar nggak kena basah. Oya, asiknya lagi, ada 1 kamar mandi lumayan besar di lantai 4 (ini kelihatannya punya pribadi si owner) yang boleh kita pake mandi jugaaaa! Oya, sabun dan shampoo disediakan jadi kamu nggak perlu repot bawa-bawa dari rumah.

Yang juga istimewa dari Met A Space Pod adalah pelayanan staff nya yang sangat ramah dan helpful. Proses check in cepet, semuanya ramah. Corinne, staff perempuan yang membantu saya check in dan menunjukkan ini itu dari tempat mandi dan tempat makan sangat ramah dan lalu memotret saya untuk dipasang di dinding front officenya. Jadi kalau kamu kesana nanti, coba cari foto saya ya kebagusan.

IMG_1944

Pertanyaan besarnya adalah, apakah saya lain kali akan menginap lagi di Met A Space Pod kalau pas ke Singapore lagi? YES! Tentu saja. Kalau perginya sendirian, nginep di Met A Space Pod adalah pilihan yang lumayan oke. Harganya sekitar SGD42. Cukup mahal untuk harga hostel tapi masih lumayan ekonomis dibanding harus menginap di hotel biasa banget yang harganya tetep aja di atas itu.

Oya, pas saya nyampe beberapa café di Boat Quay sedang menggelar acara nonton bareng bola atau apalah yang tentu saja bikin berisik, apalagi pod saya ada di pinggir jendela. Sebagai tukang tidur sejati, saya sih sebetulnya nggak terganggu, tapi Corrine dengan baik hati memberikan saya tutup kuping biar ga berisik dan tidurnya nyenyak katanya.

Area Boat Quay ini memang enak sih buat nginep dan jalan-jalan. Kamu bisa jalan menyusuri sungai sore-sore, atau nongkrong ala ala anak muda lokal di Clarke Quay, bisa juga jalan ke area MBS dan patung Merlion. MRT juga ga jauh, jalan kaki bisa 8 menit, atau 15 menit kalau kamu kebanyakan berenti foto-foto kayak saya. Kalau kamu penggemar kucing, di sebelah Met ada café kucing bernama Neko no Niwa, kamu tinggal bayar SGD12 lalu bisa main-main sama kucing di situ selama satu juga. Katanya sih kucing di sini bagus-bagus dan bersih-bersih plus terjamin kesehatannya. I can not relate karena saya nggak suka kucing :D. Tapi seorang teman yang kebetulan tinggal di Singapore bilang café kucing yang ini adalah yang terbaik dibanding kafe-kafe kucing lainnya di sana.

Keterangan lengkap soal Met A Space Pod ada di sini ya. Kalau mau tanya-tanya silakan di kolom komen 🙂

 

Belanja Makanan Cuma Modal Dasteran

Kalau saja diijinkan –oleh waktu, dompet, kantor dan oleh orang di rumah-, saya sih maunya jalan-jalan keliling nyobain makanan yang enak-enak di daerah aslinya. Sayangnya, nggak gampang keliling-keliling kayak begitu. Selain waktu seringkali tak bersahabat dan dompet juga nggak mengijinkan, si boss di kantor kayaknya udah siap rolling eyes tiap saya minta ijin cuti (yang sebenernya udah habis jatahnya berbulan-bulan lalu).

Problemnya ada satu lagi,

Read More