Saya nggak ingat persis kapan, tapi sejak kecil Biyan memang punya gadget untuk dirinya sendiri. Artinya, dia nggak perlu menunggu saya atau ayahnya pulang kantor untuk meminjam handphone kami. Sementara banyak orang tua yang ‘mengharamkan’ anak bermain gadget, saya justru memberikan kebebasan untuk Biyan bermain dengan gadgetnya sendiri. Kenapa?
Gini, saya melihat beberapa contoh kasus anak-anak yang dibatasi penggunaaan gadgetnya, misalnya hanya pas weekend, atau hanya pas libur sekolah. Yang saya lihat akhirnya adalah anak-anak menjadi ‘haus’ dan nunggu-nunggu saat main gadgetnya tiba, dan ketika waktu itu tiba, blas nggak bisa diganggu.
Dengan prinsip ‘kalau dapatnya mudah maka kita jadi biasa dengannya’, saya memberikan kebebasan untuk Biyan memegang gadgetnya sendiri tanpa waktu yang harus saya tentukan. Berhubung anak cuma satu kan ya, prinsip ini saya jalankan dengan konsep trial & error tentu saja. Awalnya saya nggak tahu apakah ini akan membuat dia attached terus sama gadgetnya, atau (sesuai harapan saya), dia akan jadi biasa aja karena itu hal yang biasa buat dia.
Saya beruntung karena yang terjadi adalah hal yang kedua. Karena biasa pegang gadgetnya sendiri kapan dia mau, Biyan jadi melihat gadget seperti hal yang biasa aja, tidak terlalu istimewa.Walau punya handphone sendiri, dia masih suka bawa buku gambar dan menggambar dimana aja (yes termasuk kalau kita lagi makan di luar), masih suka nodong mamanya main scrabble, masih seneng main air, masih suka heboh kalau liat marmut ;
Saya bahkan mengajak dia mandiin kerbau pas ke Garut dulu.
Di kelas TK A dulu, saya mendapati dia mulai bisa menulis. Tadinya tujuannya cetek aja, dia perlu download game nya sendiri, dan untuk download tentu saja dia harus tau gimana cara nulis nama si game itu sendiri kan. Menurut ibu saya yang sehari-hari ada di rumah bersamanya, siang-siang dia suka buka keyboard tablet dan tanya ini huruf apa, itu huruf apa. Saya sendiri memang bukan ibu yang telaten mengajar ini itu di rumah, saya nggak pernah membelikan poster berisi alfabet atau flash card untuk belajar membaca, karena menurut saya proses itu akan dia alami di sekolah secara natural nanti.
Kemudian saya dipanggil oleh guru sekolahnya dan ditanya gimana cara mengajar Biyan membaca dan menulis karena walaupun dengan bentuk tulisan yang amburadul, dia sudah bisa menulis (dan membaca) dengan ejaan yang benar. Waktu itu saya juga bingung dan saya bilang “laaah kirain diajarin di sekolah, saya sih di rumah nggak ngajarin secara khusus”. Ternyata dia memang belajar sendiri karena ‘terpaksa’ dalam rangka men-download gamenya sendiri itu tadi.
Di tahap selanjutnya, Biyan kemudian menagih untuk punya aplikasi BBM di handphonenya. Saya dengan senang hati menginstal karena lucu juga anak ini bisa diajak chatting selama dia di rumah dan saya di kantor. Mengajar Biyan menggunakan BBM memerlukan waktu 10 menit, sementara dulu saya memerlukan 2 hari untuk mengajar ibu saya menggunakan BBM 😀
Kemudian BBM tak lagi menarik perhatiannya, handphone yang dia punya dipakai lagi untuk main game, dan kemudian kali ini : Youtube. Biyan suka mendengar musik dan senang juga melihat video klip di Youtube. Tanpa saya ajarin secara khusus, dia kemudian rajin menelusuri band-band kesukaannya di Youtube.
Satu waktu kami lagi dalam perjalanan ke Yogyakarta dengan kereta api. 7 jam tentu saja bukan perjalanan singkat untuk membawa anak berusia 7 tahun. Di jalan dia ngomel, katanya mama sih enak kalau bosen bisa ngobrol whatsapp sama temen-temen atau sama ayahnya. Begitulah kemudian dia minta di-install whatsapp di handphonenya dan mulailah dia ‘meneror’ orang-orang dekat keluarga dengan message di whatsappnya.
Tapi namanya anak 7 tahun ya, kebutuhan whatsapp nya cuma sampai tahap kalau dia mau kirim message aja. Dia nggak punya keinginan untuk membalas message yang masuk, kecuali kalau dia yang pengen. Kadang-kadang kalau saya message aja dia bisa nggak bales, pas ditanya jawabnya cuma “sorry aku tadi baca buku” atau “maaf ma tadi handphonenya di kamar, aku di luar”. Ada aja alasannya.
Secara kebetulan, di satu acara (kapa-kapan saya posting soal ini) saya ketemu sama seorang psikolog anak yang cukup terkenal, Ibu Rose Mini atau yang sering dipanggil Bunda Romi, beliau sebetulnya juga tidak menyarankan anak diberi gadget sendiri apalagi yang cukup canggih, tapi ya gimana anaknya juga, katanya. Beliau bilang saya cukup beruntung karena dengan gadget di tangannya, Biyan masih punya keinginan untuk meng-eksplor hal lain yang ada di sekitarnya. Situasinya waktu itu kami sedang duduk ngopi di sebuah coffee shop di mall dan Biyan meninggalkan handphonenya di meja kemudian pergi jalan-jalan. Bunda Romi bilang, banyak juga anak yang kalau udah pegang gadget, ya ngga kepengen ngapa-ngapain, maunya mainan handphone aja. Sekali lagi saya bilang, ini juga trial & error karena kalau ternyata Biyan stuck sama gadgetnya dan nggak kepengen melakukan hal lain, saya akan mengevaluasi prinsip kami memberikan gadget untuknya.
Whatsapp sama Biyan selalu bikin geli, karena walaupun jaman cukup canggih untuk anak-anak bisa chatting dan lain-lain, tapi dia tetep aja anak berumur 7 tahun ;
Liat deh, nggak ada typo di tulisannya. Dan dia sudah mulai punya selera musiknya sendiri, walau kadang-kadang suka nyontek playlist saya. Kadang-kadang saya masih mendapati dia nonton Youtube The Beatles live concert Paul Mc Cartney (yang satu ini dia ngefans banget emang).
Saya memang janji akan mengajak dia nonton Maroon 5 karena dia lagi seneng-senengnya, pas kabar konser batal itu merebak, this is how he handle the news. Mixed feeling banget, sedih karena dia sedih tapi sumpah pengen ketawa melihat reaksinya.
Kali lain, dia ngeles ;
Sekarang ini, aplikasi yang ada di handphonenya hampir mirip dengan aplikasi yang ada di handphone saya : Youtube (ini terpenting buat dia), whatsapp, LINE (karena stickernya lucu-lucu, katanya), beberapa game soal quiz (coba browsing Pop Quiz, saya aja seneng mainnya), aplikasi cek kuota (kalau habis bisa gawat aku ga bisa youtube-an, katanya), dan belakangan : Instagram :). Oh dia sempat punya aplikasi wordpress walau belum berhasil dipakai karena selalu gagal publish. Padahal mamanya udah seneng kalau anaknya mau ikutan ngeblog.
Awalnya dia suka liat timeline instagram saya, dia selalu tertarik dengan gambar pantai, gunung, dan pemandangan2 indah. Belakangan dia minta diinstall dan punya akun sendiri.
Sekarang ada 20 foto yang sudah diunggahnya di Instagram, dan saya selalu geli melihat pilihan fotonya. Saya juga ajarin dia membuat caption, jangan cuma posting karena Instagram bukan album foto, harus ada caption foto yang menerangkan ini apa dan dimana. Sejauh ini dia sudah posting foto makanan kesukaannya (Steak Holycow) dengan caption sederhana di bawah fotonya : “Steak Holycow”. Atau saat kami makan malam di Eatwell Bali, captionnya : “Eatwell. Bali”. Fotonya saat snorkeling di Senggigi dia kasih caption “snorkling senggigi”. Saya membayangkan kalau 10 tahun lagi Instagram masih ada, dia akan seneng sendiri melihat foto postingannya waktu masih 7 tahun ini 🙂
Ok kemudian hal yang lebih serius. Membiarkan anak pegang gadget, bisa browsing, bisa liat youtube, bisa apa aja : NGGAK NGERI SHAS?
Ngeri, tentu saja. Saya selalu deg-degan gimana kalau di Youtube dia tau-tau ngeliat hal-hal yang nggak pantes? Atau di Instagram?
Setiap malam sebelum tidur, saya memeriksa handphonenya. Chat history dengan semua orang (biasanya cuma sama keluarga, dan ada grup bersama 3 orang temannya yang umurnya memang di atas dia), history Youtube dan history browernya, dan list following dan follower di Instagramnya. So far belum nemu yang aneh, semoga nggak usah nemu yang aneh-aneh ah ya.
Nonton video klip band asing, kan banyak cewek-cewek berbikini dan lain-lain? Ini taun 2015 la ya, dibawa ke Bali juga udah biasa dia liatnya. Kalau di nggak boleh-boleh in ntar pas liat sendiri malah kaget pula. Liat yang ciuman? Selama adegannya nggak bokep, dan how hot a kiss could be in a video klip kan ya. Kalau pas liat yang begitu saya cuma bilang “it’s an adult thingy, Biyan”. Dia kelihatannya sih ngerti dan nggak menjadikan ini hal yang besar banget.
Percayalah sangat menyenangkan melihat dia punya kesenengan sendiri ; selera lagu sendiri, dia bisa memilih apa yang mau dia posting di Instagramnya (saya mengirim dia banyak foto bagus yang menurut saya instagrammable, tapi toh dia memilih sendiri apa yang mau dia posting). Saya senang ketika naik kereta api dia dengan antusias mengambil foto dan video dari pemandangan cakep yang ada di luar jendela kereta. Saya senang ketika dia dengan antusias memotret makanannya dan kemudian posting di Instagram. Penting buat saya untuk dia punya ‘standar’ akan hal mana yang menarik untuknya
Kami cukup banyak melakukan perjalanan yang jauh dan lama. Naik kereta 7 jam ke Yogyakarta plus dilanjut bermobil 2 jam ke Magelang hanya berdua saja percayalah bukan perjalanan yang mudah dilalui anak 7 tahun. Dia mengisinya dengan youtube-an, ngobrol via whatsapp dengan ayahnya atau temannya, motret-motret, dan kadang-kadang handphonenya masuk tas kemudian dia baca buku. Atau tidur.
Dan dia nggak uring-uringan kayak saya kalau handphonenya abis batre, kalau mati, ya udah aja. Mamanya sih bisa mampir ke warung numpang ngecharge : ))). Yang bener ajalah, kita ke Jakarta 3 jam aja bisa bosen kalau nggak pegang handphone kan?
Bener juga ya, jadi biasa aja dan gak sampe sakaw hehehe.tfs darling
prinsipnya kayak dulu papaku suka ngajak aku ke disko, jadi pas udah gedean udah biasa aja gitu : )))
masukan yang bagus nih…
sekarang bocahku masuh umur 3 tahun. waktu umur 2 tahun betah di pasangin video sesame street. Lumayan buat break ortunya selama hampir 30 menit. Sekarang malah ga bisa dibujuk pake gadget..:( maunya eksplorrr.. hiks..
bagus dong kalau mau eksplor, orang tuanya extra cape aja ya palingan 🙂
Thanks for sharing Cici~ Jangan terlalu dibatasi kan ya biar ga penasaran ihihihik. Yang penting dikasih tau mana yang bagus mana yang belum pantas sesuai umurnya.
yes, tepat begitu maksudku 🙂
Bagus ini. Sepertinya akan aku terapkan nanti.
Ya gimana kalau nikah aja dulu Lan yang dipikirin gitu? 😂😂😂
hahaha, jodohnya udah ada kan Lan? : )))
Kak…. Puhlease..
Bagus juga ya. Tapi jangan dibiarkan lepas blasss..
yes betul 🙂
teh..ijin share ya 😀
Haai, iya dengan senang hati 🙂
Waah jadi terinspirasi. 😀
senangnya 🙂
Kayak aku dari kecil gak boleh main PS atu nintendo. Alhasil tiap main ke rumah temen jadi aku kuasain itu mainan. :))))
Menarik juga ini pengalaman mbak Sha. 😀
nah iya maksud aku supaya jangan kayak kamu waktu kecil hahahha : )))))
Beli aku PS 4 dong mbak :’3 *ditapuk pake joystick*
Chikaaaa, Biyan aja baru PS3 yang cuma boleh dimainin pas weekend :))