Makanan Dari Hati yang Hati-hati

Tulisan ini ada karena beberapa kali baru-baru ini saya lagi lumayan rajin mendatangi restoran-restoran baru di Bandung yang memang menarik untuk dicoba ; tempatnya bagus, areanya hampir selalu strategis, dan buku menu mengkilap dengan puluhan menu, jenis makanannya banyak banget. Ada pula yang masih bertahan dengan “silakan di scan untuk menunya Kak”, membuat saya merasa sedikit lebih tua karena ternyata saya masih lebih suka memegang buku menu betulan ketimbang melihatnya di henpon saya. Apalagi ternyata sinyal henpon saya di restoran itu kurang bagus lalu pas kebuka, ternyata bukan landing page tapi doogle drive yang (mungkin) gratisan. Tapi itu soal lain, hari ini kita bukan mau ngobrolin soal scan-scan menu. 

Kesimpulan dari kunjungan ke restoran-restoran itu adalah kalau urusannya untuk makan beneran (bukan arisan, bukan gathering, bukan reuni), ternyata saya masih lebih senang makan di kelas-kelas warung atau kedai. Harganya sudah pasti beda jauh, tapi bukan itu persoalannya. Untuk urusan makan, duduk di kedai sederhana yang specialized dalam apa yang dia jual selalu mempunyai kesan istimewa tersendiri. Baru duduk dan lihat menunya aja kita udah kebayang si yang punya kedai mencurahkan hati dan perasaanya saat membuat menu, mencoba-coba alias R&D di dapur sendiri lalu mengundang beberapa teman untuk mencoba hasta karyanya. Atmosphere tempat makan pun kemudian dipikirkan dengan serius dan hati-hati. Di beberapa tempat kita bisa merasakan ada harga design interior yang dihemat sehingga si yang punya tempat kemudian menjadi ekstra kreatif mendandani tempatnya yang kemudian malah membuat tempat tersebut menjadi unik dan tidak sama dengan tempat lain. 

Ahli membuat mie kemudian berjualan mie. Ahli membuat kopi kemudian membuka kedai kopi. Ahli mengolah buah kemudian berjualan aneka olahan buah. Sebuah bentuk bisnis F&B yang banyak saya temui di Bandung dan di Bali (mungkin di banyak tempat lain juga, tapi saya kan hanya berdomisili lama di dua tempat itu). 

Hasilnya adalah makanan berkualitas yang -maaf saja- kemudian melewati standar makanan yang saya temui di restoran-restoran cantik. Kuncinya 2 : spesialisasi dan hati. Ada sebuah nilai yang tidak tergantikan saat makanan diolah sepenuh hati oleh empunya kedai sendiri. Walaupun kemudian dimasak dan disajikan oleh karyawan, tapi ada semacam soul yang tidak bisa saya temui di restoran besar.

Beruntunglah Bandung yang punya Konklusi Kitchen, sebuah kedai gyoza kecil bertempat di Pasar Cihapit yang berhasil menyajikan Gyoza yang jauh lebih enak daripada Gyoza yang baru saja saya makan di sebuah restoran Jepang dengan harga 2x lipat.

Dan Seminyak dengan Ferari dan Mayuko yang tidak hanya menyajikan gyoza sedap di Gyoza Bar by Amber, tapi juga obrolan-obrolan ringan yang terjadi sambil kita seolah menemani mereka menyiapkan pesanan konsumen.

Daftarnya bisa tak berhenti, ada Ramen Rama di Bandung (dan sekarang juga di Jakarta) yang rasanya jauh di atas restoran Jepang pada umumnya. Ada Ton Kedai, pendatang baru di Bandung yang menunya sangat spesifik dan ga perlu buku tebal sebagai menu (apalagi di-scan segala). Ada Khas Roti Selai yang sajian makanannya ga kalah dengan cafe-cafe keren. Dan ada pula Imah Babaturan, warung makan sederhana yang makanannya sederhana tapi digarap serius. Di Ubud ada Double Dragon berjualan dumplings & noodles yang tempatnya masuk gang, berada tepat di tengah pasar berjualan souvenir (yang ini non halal ya)

Dalam dunia kopi contohnya bisa awur-awuran. Yang pasti, duduk di coffee shop lokal membuat saya lebih bahagia ketimbang duduk di gerai kopi ternama yang biasa ditemui di mall (ya atau di bandara). Bukan cuma suasana tempat, tapi juga jenis kopi yang disajikan. Sama seperti pada makanan, lewat secangkir kopi kamu tau betapa serius si yang punya kedai terhadap apa yang dia jual. Seperti yang saya alami di Contrast Coffee Bandung dan Little Langkah juga How I Met Coffee di Seminyak, Bali. Contohnya tentu saja tak cuma dua, ada banyak. Dan kamu pasti punya kedai kopi pilihanmu sendiri.

Jadi sebetulnya apa sih maksud dan tujuan dari tulisan ini? Walaupun bukan proposal pengajuan dana yang maksud dan tujuannya harus jelas, mari kita rangkum supaya setidaknya ada manfaatnya buat yang baca (dan buat yang nulis).

Dunia bisnis F&B adalah dunia yang tidak pernah berhenti bergerak. Pergerakannya sangat fluid, artinya bisa bergerak ke mana saja. Dulu mana terpikir bahwa kita akan mau menunggu seminggu (lebih bahkan) untuk sekedar memesan Bacang, bayar di awal pula. Tapi sekarang itu terjadi. Saya menulis ini sebagai yang beli juga sebagai penjual, dengan kolaborasi bersama Monies yang boleh dinobatkan sebagai pembuat bacang halal terenak di Bandung.

Dulu kalau mau makan mie kita akan pergi ke tempat mie yang itu-itu lagi, yaaa setidaknya adalah 5 alternatif. Tapi penjual mie biasanya sudah berjualan lamaaa sekali, mungkin 2 generasi. Sekarang penjual mie banyak yang trendy namun berhasil β€˜menerjemahkan’ mie klasik dengan cara mereka sendiri. Di Bandung ada Mie Upami, Ong Noodle, dan di Bali ada Hou Ah, Fushou, dan lain-lain

Dulu kalau datang ke tempat makan yang penuh dan sampai waiting list palingan kita pergi dan kembali lagi nanti-nanti kalau sudah sepi. Sekarang semakin waiting list semakin dinanti. Dulu penjual makanan mesti sibuk beriklan di koran atau memasang spanduk dan papan nama besar-besar supaya tempatnya dilihat orang, sekarang penjual makanan dan kedai kopi dengan beraninya membuka tempat di area yang tidak lazim, tersembunyi dan sulit dicari. Nggak akan pernah lupa pertama kali ke Kozi Coffee yang pertama di Gudang Selatan saya sampai nonton Youtube dulu untuk cari tutorial cara masuknya. Belakangan ini orang malah balap-balapan, semakin tersembunyi semakin seru, hidden gems katanya. Ada juga sih yang bilangnya hidden gems tapi kemudian beriklan di sponsored post, hehe. Ini bisa jadi bahan tulisan lain lagi nantinya.

Beberapa bar bahkan mengenakan password bagi tamunya untuk masuk. Ga tau password sorry-sorry kamu beli bir di swalayan terdekat saja. Kalau alm ayah saya masih ada, dibilang masuk bar mesti pake password saya yakin dia kemudian akan memilih untuk diam di rumah saja, minum sambil nonton TV.

Jadi kalau dulu orang berlomba membuka restoran besar yang bagus-bagus supaya konsumen bisa duduk nyaman, dan parkir dengan aman, sekarang duduk makan di tengah pasar basah beraroma ayam potong pun kita berbaris dengan rela.

Lalu memangnya ga akan makan di restoran Shas?
Tentu saja tetep makan. Terutama kalau ada agenda kumpul-kumpul teman dan keluarga karena kalau mau makan bareng trus kumpul-kumpul setelahnya kan ga enak di kedai kecil, selain mungkin tak senyaman di restoran, pasti meja kita mau dipake konsumen selanjutnya. Jangan juga karena kita seneng duduk di situ kemudian ga mikirin yang punya kedai kan mau jualan juga.

Jadi kita ketemu dan ngopi di mana nih jadinya? πŸ™‚

3 comments

  1. MELLY's avatar
    MELLY · July 30, 2023

    Tossss buat lebih suka liat buku menu manualnya 🫸🫷

    Akhirnya Shasya nulis lagi aheyyy πŸ₯³πŸ₯³πŸ₯³πŸ₯³

    Hatur nuhunnnn Monies disebut-sebut di sini πŸ₯ΊπŸ₯ΊπŸ₯°πŸ₯° ku senang sekaliiii 😘😘😘

    Kozi Coffee gudang selatan iya banget sih. Dulu pertama kali ke sana juga agak syok tempatnya kok beginiii. Eh lama-lama nyaman juga. Ya karena kopinya juga enak sih..

    Roti selai dulu pernah kudatangin karena ngiler banget ngeliat Shasya terus-terusan ke sana. Jauh-jauh ke Dago sih worth it banget emang. Enak dan tempatnya hangat sekali πŸ‘Œ

    Imah Babaturan sih gak usah ditanya. Badabest!

    Ini banyak nama-nama yang belum pernah kudatangin. Mau ah nanti!

  2. Ira's avatar
    Ira · July 31, 2023

    Aku pun lebih suka lihat buku menu! Apalagi kalau sinyal di restorannya jelek.
    Ngopi sama makannya mah di situ-situ lagi aja Mbak Shasya πŸ˜†πŸ˜†.

  3. asriFit's avatar
    asriFit · January 4, 2024

    Samaaaa, tim lebih afdhol buka buku menu hihihi. Asiiik semua yang disebutin udah secara reguler dikunjungi dan sebetulnya emang cuma kesitu-situ lagi sih hahaha. Kecuali Konklusii, belum sama sekali. Next ah!

Leave a reply to MELLY Cancel reply