Bisa dibilang saya melalui masa masuk usia dewasa dengan membaca buku-buku chicklit. Dari jaman Bridget Jones’ Diary, sampe The Devil Wears Prada, semua saya lahap sampai tuntas. Belakangan ketika social media mulai menyita waktu membaca, saya masih tetap setia baca chiklit meskipun waktunya kadang-kadang defisit banget.
Membaca chiklit artinya mengerti banget pola pikir penulisnya. Maklum, rata-rata penulisnya perempuan, tokoh-tokohnya nggak beda jauh dari perempuan muda, punya penghasilan sendiri, cerdas, punya keterampilan, tapi tetep drama queen terutama soal percintaan. Makanya nggak heran kalau saya dengan mudah bisa mengikuti alur penulisan dengan mudah.
Waktu The Rosie Project sampai ke tangan saya, seperti biasa kiriman @editor_in_chic, saya nggak ngeh kalau penulisnya lelaki. Tokoh sentralnya memang lelaki sih, tapi kan bisa aja penulis perempuan nulis soal tokoh lelaki. Kemudian ketika saya mulai kesulitan mengikuti pola pikir dan cara pandang Don Tillman, si tokoh utama, saya baru sadar, oh penulisnya lelaki.
Dari situ cerita ini kemudian jadi lebih menarik buat saya karena rasanya seperti menyelami daya pikir seorang lelaki. Bukan perihal pekerjaan atau segala sesuatu yang lebih serius, tapi lebih ke soal…………..
cinta dan how love affects their life.
Membaca The Rosie Project saya akhirnya melihat bahwa bahkan seorang lelaki pun bisa mengubah banyak hal dalam hidupnya untuk cinta. Dari kebiasaan sampai prinsip, bisa banget berubah. Jangan heran kalau satu waktu kita mendapati diri kita like another person we dont even know. In the name of love, semua bisa. Tapi saya melihatnya bukan sebagai sesuatu yang buruk kok. Apalagi menyaksikan Don Tillman yang tadinya kaku kemudian berubah jadi orang yang lebih fleksibel dan jadi jauh lebih menyenangkan. Sosok Rosie yang serampangan dibuat jadi lucu dan kita sebagai perempuan lebih mengerti kenapa sih dia bersikap begitu.
Graeme Simsion sebagai penulis menceritakan proses perubahan ini dengan cara yang menyenangkan dan cenderung lucu. Saya baru ngerti kenapa Sophie Kinsella bilang nggak bisa berenti ketawa pas baca buku ini.
@carnauval juga bilang kalau buku ini memang nggak gampang dimengerti terutama awalnya, tapi begitu udah masuk ke tengah, rasanya ga bisa berenti baca sampai buku selesai. Saya sendiri udah bawa-bawa buku ini ke Bali dan Myanmar kemarin itu, masih belom kelar juga. Selain karena malah sibuk ngerjain yang lain, juga karena bukunya memang ga se-enteng buku-buku lain yang biasa saya baca.
Sebagai tukang baca buku, saya bisa bilang kalau buku ini perlu dibaca dengan asik. Artinya ngga ngoyo pengen cepet-cepet kelar, tapi nikmati semua detil ceritanya. Tentu saja saya nggak sabar menunggu The Rossie Effect, buku lanjutannya nyampe di tangan saya nanti.
Kalo kebiasaan yg berubah masih mungkin sih Ci, tapi kalo prinsip? Uhlalalaa 😱
Sometimes we dont even realize we’re ling a wrong prinsip, hehehe
Laff bebs, Laff!
Thank you bukunya, aku laff! 💙
Saya kalau baca buku juga terbatas sekarang 😦
Paling watu sebelum berangkat kerja atau pas lagi perjalanan liburan (naik transportasi umum).
iya ini jadi masalah klasik ya sekarang, semua orang mulai kekurangan waktu untuk membaca. Padahal membaca itu buat saya soothing dan mengurangi stress.
sekarang sih bisanya baca novel yang tipis-tipis, curi-curi waktu di tengah mengerjakan skripsi 😀 (silent reader yang sedang pengen komen) hehehe
ehai why being so silent? hehe…
Iya aku juga curi2 waktu buat baca kadang keburu males malahan. Semoga skripsimu cepet beres yaa. Trus nanti kerja dan malah tambah ga punya waktu untuk membaca hahaha
Amiiin, terimakasih ^^ kala dah kerja waktu buat baca nya mungkin nggak sempat tapi beli bukunya pasti makin rajin hehe