Buka Resto Nggak Cuma Soal Modal Gede

Sebagai warga Bandung, hampir setiap minggu saya melihat ada tempat makan baru, be it coffee shop, resto, bistro maupun café. Seneng? Tentu saja, karena banyaknya tempat makan baru ini membuat saya nggak akan kehabisan bahan untuk menulis di surgamakan.com dan posting Instagram di @surgamakan.

Walaupun saya tidak lagi menerima undangan makan, undangan review atau pun endorse, tapi datang ke tempat-tempat makan baru (hampir) selalu saya lakukan. Kadang karena serius pengen coba makanannya, kadang cuma penasaran aja apa sih bedanya satu tempat dengan tempat yang lain.

Sayangnya, banyak tempat makan baru di Bandung yang kelihatannya hanya mementingkan tampilan. Sesuai dengan demand masyarakat, bikin tempat cantik yang instagramable, yang bikin orang datang foto-foto, posting di socmed kemudian mengundang orang lain untuk datang ke tempatnya. Urusan makanan, ada chef yang ngaturlah, urusan service, adalah supervisor yang melatih team service, urusan jualan hire aja orang sales yang pinter ngomong, urusan promo di socmed tinggal hire freelance yang ngerti atau bahkan anak sales yang kebetulan seneng mainan socmed ajalah suruh pegang. Yang punya biasanya banyakan bisa sampe 5 orang sekaligus, belum tentu pernah mengerti bisnis resto tapi punya uang untuk mewujudkan impian buka resto atau sekedar mengikuti trend “jualan makanan apa aja di Bandung bisa laku nih”.

Terdengar pedas, iya. Tapi bukan tanpa alasan. Karena saya cukup sering berkeliling tempat makan baru, saya kemudian hafal masalah-masalah apa yang biasanya muncul. Pertama soal makanan ; ada yang jualannya itu-itu aja, standar-standar, gampang-gampang. Memang sih kalau niatnya buka coffee shop kan fokusnya bukan di makanan ya. Cukup beberapa jenis pastry, cake dll ada di showcase supaya yang ngopi bisa sekalian ngemil, juga sekalian bikin cantik meja kasir. Yang buka resto samanya juga ; lagi musim apa-apa pake keju yang dileleh-leleh itu cyin, semuaaa jualan itu. Tapi mesti ada makanan Indonesia biar orang ada pilihan cyin, okeee Nasi Goreng Kampung pake Sate dan Telor Dadar atau paling banter Sop Buntut Goreng dan Kuahlah Cukup. Apa? Sop Iga masih ngetren? Okelah masukin Sop Iga ke menu.

Itu dari sisi makanan ya. Akhirnya muncullah resto-resto yang buat saya nggak jelas maunya apa. Ada yang jualan Sundanese Food tapi jualan juga Western Food. Tambah Pasta pula karena katanya anak-anak paling gampang makan Pasta. Soal rasa sih relative, saya agak sulit komentar soal rasa karena yang buat saya enak, belum tentu buat orang lain enak. Pun sebaliknya. Tapi kalau mau Tanya pendapat saya pribadi, saya akan bilang dengan jujur bahwa jarang ada resto baru yang makanannya enak banget sampe bikin pengen balik lagi. Tentu saja ada, bukannya ga ada sama sekali, tapi yaaa ga banyak. Kalau kamu mengikuti postingan makanan saya di Instagram @surgamakan tentu tau tempat makan mana yang bikin saya bolak balik makan di sana. Nah itulah yang menurut saya enak

Soal service. Ini dia yang juga penting buat saya. Karena kan banyak resto yang charge konsumen dengan biaya service 11 %. Dengan membayar charge tersebut, tentu kita mengharapkan pelayanan yang prima ya. Belakangan menurut pandangan saya kayaknya banyak tempat makan yang mottonya “senyum ramah pada pelanggan”. Yes, ini Bandung, nggak susah menemukan orang ramah di sini apalagi mereka yang kerja di bagian service. Dari parkir, masuk pintu, mau pesan makan, antar makanan sampai bayar semuanya ramah dan senyum. Bandung mah urusan beginiannya ga perlu diragukan lagi. Tapi sayangnya sikap ramah ini nggak diikuti dengan sifat yang helpful. Ditanya soal menu, banyak yang bengong dan nggak tau persis. “Bedanya menu A dan menu B apa Mbak”, “Bentar saya tanya dulu”, begitu katanya. Lama jadinya mau pesen makanan doang. Pernah satu waktu saya makan di sebuah restoran baru di sekitara setiabudi. Tempatnya bagus, rapi, meyakinkan. Saya order lasagna untuk makanan dan ketika mengangkat wajah dari menu mau pesen minum, masnya udah pergi aja. Lah gimana J

Pernah juga saya duduk di lantai dua sebuah tempat makan. Tiap mau pesen selalu harus turun ke lantai bawah yang mana itu juga masnya nggak langsung naik. Kalau buka tempat atas bawah ya mestinya sedia team staff atas bawah nggak sih? Atau kata saya doang nih?

Waktu menulis ini saya lagi duduk di salah satu tempat makan baru di Bandung. Sesuai dugaan sih, udah duduk 10 menit depan meja kasir belum ada yang yang nyamperin saya untuk ngasih menu. Berhubung haus ya nyamperin masnya pesan minum. Kalau nggak gitu mungkin sampe pulang pun nggak ada yang nawarin menu : ))

Kali lain pernah makan sama Biyan mau pesan steak di sebuah café. Biyan seperti biasa anaknya banyak tanya dan saya memang mengajarkan dia untuk tanya langsunglah sama orangnya jangan apa-apa mesti saya yang tanyain

“Mbak bedanya yang medium sama yang welldone apa?”

“Yang welldone matang yang medium masih ada darah-darahnya”

Ya menurut lo aja anaknya akhirnya pesen yang mana kan yah.

Menurut saya sih bukan salah waiter. Tapi terang salah pengelola resto kenapa nggak kasih product knowledge yang cukup dan mumpuni untuk karyawannya. Mungkin karyawan perlu sekali waktu mencoba semua makanan yang dijual di restonya. Ya nggak harus seporsi per orang tapi setidaknya tau bahwa bedanya medium dengan welldone itu bukan cuma sekedar yang satu masih ada darahnya yang satu lagi enggak. Kalau udah dikasih trus nggak ngerti juga ya mungkin perlu ganti karyawan.

Perihal salah datang pesanan, oh bukan cuma satu-dua kali. Udah pesan lama trus tau-tau makanannya sold out? Sering juga. Minta sendok aja kadang-kadang sampe tiga kali baru dateng. Dan ini terjadi di tempat makan yang makanannya enak-enak banget, sayang jadi malas kesana

Itu service di dalam tempat makannya ya. Saya bahkan pernah mesti jalan kaki cari tukang parkir dulu karena mobil terhalang mobil lain dan nggak bisa keluar. Padahal staff parkir ga cuma satu tapi ada lebih dari dua dan tempat parkirnya juga nggak gede gede amat.

Kalau kamu tinggal di Bandung atau pernah sekolah di Bandung atau setidaknya sering ke Bandung, kamu mungkin tau ada satu kedai makanan di Jl. Mahmud. Kami menyebutnya Lotek Mahmud walau seingat saya tidak ada sign yang menandakan namanya Lotek Mahmud. Kedai ini selalu ramai setiap jam makan siang (bukanya cuma sampe jam 3 sore kira-kira). Jenis makanannya buanyakkkk banget. Belum lagi minumannya. Mbak-mbak servicenya banyak dan membagi tugasnya dengan baik. Ada yang kerjaannya ngitung pesanan dan terima uang, ada yang bertugas lap meja ada yang mengantar makanan dan ada yang kerjaannya ngulek aja gitu sepanjang hari. Yang bikin saya kagum adalah mereka tidak pernah salah catat pesanan. Dan tidak pernah juga kelewat siapa yang pesan duluan. Jadi walau penuh dan mesti menunggu saya mau aja makan di situ. Dan bayangkan ya pesanan bisa kayak begini tapi ga pernah sekalipun salah :

  • 1 lotek pakai nasi nggak pedas, kerupuk ditumbuk
  • 1 nasi bakmoy pakai telur nasinya setengah aja nggak pakai bawang seledri
  • 1 petis kangkung super pedas pakai potongan mangga muda
  • 1 nasi lengko tanpa tempe banyakin tauge dan kerupuknya
  • 1 rujak pedes tanpa nanas dan mangga
  • 1 es tapi esnya sedikit
  • 1 es cingcau gulanya kurangin

Saya sudah berlangganan lebih dari 20 tahun dan belum pernah sekalipun salah terima makanannya. Coba di kafe jaman sekarang, bisa-bisa belepotan semua terima pesanan kayak begini.

Ya emang sih kita juga mesti liat-liat tempat ya. Contohnya nih ya pesen Mie di tempat yang agak penuh dan nggak suka seledri. Daripada ntar kesel karena tetep dikasih seledri, pesanlah yang biasa aja nanti pisahkan sendiri seledrinya, kan ga repot.

Lalu menurutmu apa sih yang jadi perbedaan antara café-café baru ini dengan Lotek Mahmud?

Pertama, product knowledge. Iya, menu di Lotek Mahmud udah berathun-tahun nggak ganti, jadi ngafalinnya kali lebih mudah. Mbaknya tau persis apa bedanya rujak cuka, rujak uleg, rujak banci dan rujak colek.

Kedua, staff service nya jarang sekali ganti. Otomatis owner nggak usah bolak balik ngajarin product knowledge nya.

Ketiga, ini yang penting, they listen. Mereka mendengarkan dengan baik apa yang kita pesan. Kalau kamu sering makan di luar, kebaca kok mana yang menerima pesanan dengan perhatian dan atensi, mana yang masuk kuping kiri keluar kuping kanan dipesan Yamien Manis dateng Yamien Asin.

Itulah sebabnya menurut saya bisnis makanan memang bukan bisnisan yang gampang. Faktor errornya bisa dari segala sisi : kualitas makanannya sendiri, servicenya, atmosphere tempatnya, dan masih banyak lagi. Sayang kalau sekedar banyak uang untuk jadi modal kemudian ikutan buka resto kemudian ternyata nggak berjalan baik dan ujung-ujungnya tutup-tutup juga.

 

 

17 comments

  1. nauvalyazid · March 16, 2017

    Ya ampun. Kamu lagi nunggu makanan bisa nulis sebanyak ini? Emang makanannya lama banget datengnya nih jadinya? :))

    • Pashatama · March 16, 2017

      pas udah dateng makanannya aku tolak dulu, kubilang waiternya “sorry, ai masih nulis ini belom kelar”. Gitu

  2. joeyz14 · March 16, 2017

    Wowwwww well writen mba shassy….Iya banget kemaren baru dari Bandung (dulu kuliah di daerah parongpong sana) jadi ngertinya daerah setiabudi dan sekitarnya aja(soalnya apa2 jauh ya bok dari parongpong haha😂) trus liat sepanjang jalan setiabudi itu rameeee banget skarang banyak cafe baru. Warung ma uneh malah dah tutup. Surabi enhai dan surabi imut juga mengalami perubahan besar….pokoke ini yang bertahan yang instgrammable keknya ya mba…tapi 😀pas tau harga makanan dan rasa nya ga setimpal orang ya kapok ya. Kayak sekedar “gue dah pernah makan disitu” jadinya yowessss bertahan cuma sampe situ aja. Mudah2an postingan ini dibaca oleh owner2 resto itu 😊

    • Pashatama · March 16, 2017

      Iyaaa dimana-mana ada resto baru. Kuamati kalau mereka bisa bertahan lebih dari setahun maka akan bertahan terus, tapi kalau enggak ya seleksi alam 🙂

      • gegelin2 · March 17, 2017

        GILAAA cuma setahun 😮 Biasanya standarnya 3 tahun pertama perkenalan bisnis utk masyarakat luas Ci, kalo cuma setahun udah ketahuan ya kualitasnya kya gimana :/

  3. Dila · March 16, 2017

    Haiiii mbak Shassy, salam kenal yaaa. Btw aku mau komen dari sisi seorang waitres sama staff dapur nih. Aku lagi part-time di Restoran Indonesia. Bener banget sih kalo staff kudu punya product knowledge yg mumpuni. Kalo nggak, liat muka customer yang bete karena nggak dapet penjelasan oke soal makanan itu juga bikin gak enak ati. Aku ngamatin di indonesia sekarang (terutama di kota besar) emang banyak resto2 baru yak, banyak menu nyeleneh juga.. kaya xxx mozarella, intinya semua2 dikasih keju meleleh :)). Aku suka nih tulisannya, bagus 🙂

    • Pashatama · March 16, 2017

      Hai Mbak Dila, salam kenal juga.

      Senangnya ada yang komen dari sisi resto, kalau staffnya rajin bisa belajar dan cari tau sendiri yaa soal product knowledge nya tapi banyak juga yang emang nggak mau belajar. Turn over karyawan yang tinggi juga jadi faktor yang mempengaruhi kurasa.

      Thank you sudah mampir 🙂

  4. gegelin2 · March 17, 2017

    Couldn’t agree more with this post. Walopun beda produk aku bisa ngerasain banget. Di retail bagian perfumery. Duluuu karyawan kantorku cuma 5 orang, dan walopun judulnya SPG/SPB secara praktikal harus bisa semuanya. Kami ngerasain banget bagaimana kami di-train 3 bulan dengan maksimal oleh ibu bos, baik dr segi penjualan, relasi dengan customer lama apalagi baru, marketing development, product knowledge.. Jadinya pas keluar dari sana gak hanya karena gaji tapi juga ilmu yang didapat buanyak banget.

    Lucky me, then 🙂

    • Pashatama · March 19, 2017

      Nah 🙂 terbukti kan ga ada ruginya belajar product knowledge yang bener 🙂

  5. Pera Yulianingsih · March 17, 2017

    ya ampunnn, I could really relate to it bangettttt. Mau nyoba tempat baru dah keburu males klo dari awal muncul udah “dagang” tempat doang. Malah kebanyakan makanan yg enak2 tempatnya cenderung biasa aja. Udah duduk di meja 15 menit blm ada yg nyamperin juga, pesen medium dateng welldone. Dah gitu tren ini bikin rugi konsumen, segalanya jd cenderung overpriced, sedih. Hahahaha.

    • Pashatama · March 19, 2017

      nah you know how I feel kan ya. Makanya aku biasa dateng ke tempat2 baru hanya untuk coba. Kalau suka banget baru aku akan balik lagi. Alhasil sebenernya aku makan di tempat yang sama2 aja : ))

  6. Ira · March 17, 2017

    Aku pun merasakan yang sama Mbak Sasshy!! Susah nyari tempat makan baru yg enak dan pengen balik lagi. Rata rata biasa aja. Dan yang emang bikin bete kalo product knowledge merekanya minim dan pelayanannya ga oke. Akhirnya emang balik ke tempat yang biasa lagi

  7. sambilngopi.com (DollyPR) · March 18, 2017

    Ya Rabb.. bisa juga akhirnya masuk ke sini dan kasih komen.

    Aku sering ke Bandung atas dan makan di tempat yang menyajikan view luar biasa. Sayangnya mereka hanya menyajikan view luarbiasa, tetapi rasa makanan yang disajikan, biasa.

    eniwei, you have a good point of view!
    tetaplah makan! kalo enggak, nanti mati.

    *halah*

    • Pashatama · June 23, 2017

      Ya ampun ku baru baca comment ini. Maafkan. Ayo ke Bandung nanti kutraktir di l Lotek Mahmud sebagai permintaan maaf

  8. matrassilat · March 21, 2017

    wih bener juga ya kata mbaknya , kalo mau usaha g cuma perlu modal yg gede

  9. Heri · March 26, 2017

    sepertinya memang begitu. Setiap ke Bandung, meski banyak resto baru, paling perginya ya kesitu lagi kesitu lagi. Malah ada, dulu warung favorit, tetapi semenjak tempatnya direnovasi jadi dua lantai, pelayanannya jadi tidak karuan. Akhirnya good bye deh. Lotek Mahmud? Baru tahu saya, jadi penasaran

  10. R · April 3, 2017

    yay for Mahmud 🙂
    Langganan jaman kuliah, si tante apal ama pesanan saya (Petis kangsung tambah tahu tempe telor).
    Tapi terakhir ke sana si tante udah ga kenalin saya … (lha udah lewat 15 tahun juga 🙂 )
    Iyah, pesanan ga pernah salah,plus si tante kalo ngitung selalu luar kepala…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s