Di umurnya yang baru 8 tahun, Biyan sudah cukup banyak mengalami ditinggal selama-lamanya oleh orang-orang dekat di sekitarnya. Diawali dengan meninggalnya ayah saya 6 tahun lalu, kemudian kakek saya, lalu nenek saya, dan yang terakhir yang baru saja meninggalkan kami semua adalah ibu mertua saya, ompung borunya Biyan. Baik ayah saya, kakek-nenek saya, juga ibu mertua saya adalah orang-orang yang memandang Biyan sebagai seorang anak yang istimewa. Semasa hidupnya, ayah saya menyayangi Biyan dengan cara yang membuat saya terheran-heran, kakek-nenek saya juga. Waktu baru melahirkan saya bahkan sempat tinggal di rumah mereka selama 3 bulan supaya mereka bisa melihat Biyan kapan saja. Cucu pertama untuk ayah saya, buyut pertama untuk kakek-nenek saya. Bayangkan betapa istimewanya anak lelaki ini di mata mereka. Untuk Ompungnya? Wah jangan ditanya lagi. Biyan memang bukan cucu pertama, tapi ke sembilan. Tapi Biyan adalah cucu pertama dari anak laki-laki yang artinya akan meneruskan marga, penting untuk keluarga.
Waktu ayah saya meninggal, Biyan baru berusia 2 tahun, tentu saja nggak ngerti, meninggal itu apa sih. Melihat kakeknya di dalam peti :
“Aki lagi apa itu?”
“Akinya sudah meninggal, Nak”
“Meninggalnya sampe jam berapa?”
Tapi waktu kakek-nenek saya meninggal, kemudian ompungnya juga, Biyan sudah cukup besar untuk mengerti bahwa meninggal artinya dipisahkan dari yang hidup tanpa batas waktu, tak akan bertemu lagi selama-lamanya. Semakin besar dia semakin mengerti arti kehilangan, waktu ompungnya meninggal, kami kesulitan menghentikan tangisnya.
Di sela obrolan sehari-hari, saya sering mendengar orang-orang di sekitar Biyan bilang “ompung sekarang sudah di surga, ketemu kongcoh dan macoh, juga aki”. Oh, kongcoh dan macoh adalah panggilan Biyan pada kakek nenek saya. Agak sulit buat Biyan untuk mengerti konsep ini karena saya tidak pernah mengajari soal konsep surga dan neraka. Tapi Biyan nggak pernah membantah, saya hanya menangkap keningnya sedikit berkerut tanda tak setuju.
Satu pagi di jalan menuju sekolah saya tanya “Biyan percaya nggak kalau orang yang sudah mati itu sekarang ada di surga?”. Bingung anaknya.
Saya mencoba menjelaskan dengan bahasa sederhana yang saya yakin dia akan mengerti. Saya jelaskan bahwa secara pribadi, saya tidak terlalu memikirkan ada dimanakah orang-orang yang sudah meninggal sekarang. Jadi saya terangkan begini.
“Orang yang sudah mati itu, artinya hidupnya selesai. Selesai, tidak ada lagi, tutup, habis, finish”
“Artinya?”
“Iya, kalau mati, sudah selesai hidupnya, nggak ada apa-apa lagi. Seperti Biyan waktu belum lahir dulu. Waktu belum lahir, kan hidupnya nggak ada, ada sih di perut mama, tinggal nunggu keluar aja. Tapi sebelum itu, nggak ada Biyan di dunia ini, belum ada. Sama seperti yang meninggal, saat mati dia langsung nggak ada”
Kemudian anaknya bilang gini,
“Kok aku jadi takut?”
“Takut apa?”
“Takut mati”
“Nggak usah takut mati”
“Kalau nanti Biyan mati, Biyan sama siapa? Nggak sama-sama Mama lagi”
“Iya, kalau mati kan sudah selesai, ya hidupnya, ya perasaannya, jadi nanti kalau sudah mati, Biyan nggak akan merasakan yang namanya takut lagi, kan hidupnya sudah selesai”
Trus anaknya nangis
“Lho kenapa nangis?”
“Aku kan masih kecil kenapa diajak ngomong kayak ginian?”
Kalau sudah gini jadi mamanya yang salah, hehe. Iya sih udahnya saya juga mikir, berat amat pembahasan di jalan menuju sekolah pagi itu.
Aku bacanya antara terharu sama ketawa. Kebayang ekspresi Biyan pas ngomong “Aku kan masih kecil…” :))
Salam kenal.
I can relate to this. Beberapa hari ini anak saya (lebih muda, 5 tahun umurnya), juga sering bertanya tentang Tuhan, surga dan kematian. lucunya bahasan ini diulang-ulang mulu :)). Kami sendiri ndak pernah/jarang bahas di rumah padahal. Hanya ketika saya pergi melayat, dia menanyakan dari mana, dan saya ceritakan. setelah itu topiknya selalu muncul.
Kadang yang takut akhirnya malah saya sendiri
sepertinya terlalu berat. tetapi anak harus dikasih pengetahuan seperti ini supaya bisa mengerti juga.