Sampai umur saya 20an dulu, saya masih takut deket deket kuda, karena sejak saya kecil, mama saya selalu bilang jangan berdiri sebelah kuda, nanti ditendang. Waktu saya bilang alasan saya nggak mau berdiri sebelah kuda karena takut ditendang, (mantan) pacar saya ketawa keras. Katanya, kuda itu nggak bakalan bisa nendang ke samping karena engsel kakinya cuma bisa memungkinkan gerakan ke depan dan ke belakang. Damn. Bener juga. 20 tahun hidup saya hidup dalam kebohongan, untung cuma urusan tendangan kuda, bukan urusan-urusan lain yang lebih penting.
Hari ini saya mendapati satu hal lain dimana seumur hidup ini saya merasa dibohongi. Kalau urusan kuda cuma 20 tahun, maka urusan yang satu ini memakan waktu 35 tahun lebih dan baru saya sadari sekarang. Perihal memaafkan.
Seumur hidup saya selalu mendengar tentang pentingnya memaafkan. Baru kali ini saya berpikir sebenernya kenapa sih kita harus memaafkan? Karena agama bilang begitu. Kalau begitu sejak saya memutuskan untuk tidak lagi beragama, saya nggak perlu memaafkan dong? Tapi tunggu, jangan bawa-bawa agama dalam hal ini. Bisa panjang urusannya. Kita bicara dari sisi hati saja.
Kamu pasti sering mendengar “memaafkan bukan berarti melupakan”, “memaafkan itu gampang melupakan itu yang susah”. Hari ini saya tau bahwa memaafkan itu ternyata sesulit melupakan. Kata siapa memaafkan itu gampang. Kecuali kalau maaf yang kamu maksud cuma urusan di mulut aja, itu lain lagi. Saya lagi ngomong soal maaf yang lain, maaf yang datang dari hati yang beneran tulus, maaf yang menghentikan semua pertengkaran yang pernah terjadi. Yang justru terjadi adalah kamu pikir kamu sudah memaafkan, nyatanya tidak. Tidak atau belum memaafkan, antara itu dua lah pokoknya.
Saking sering dicekokin pelajaran moral soal memaafkan, kita jadi lupa bahwa maaf adalah sepenuhnya hak kita. Nggak ada satupun orang yang bisa memaksa kita perihal memaafkan. Pendek kata, “mau gw maafin, mau engga, ya hak gw dong”. Saya bilang ini hak kita karena sebagai ‘korban’ perlakuan yang nggak menyenangkan, kita menanggung rasa yang nggak enak. Apakah itu sakit hati, tersinggung, marah, you name it. Kita yang dirugikan kok kita yang harus berbesar hati memaafkan. Kalau kamu mau memaafkan, tentu lebih baik dibanding saya yang memutuskan untuk melupakan perihal memaafkan kemudian memutuskan untuk walk away dan berusaha melupakan apa yang sudah terjadi walaupun melupakan juga adalah satu hal yang tidak mungkin.
Pemikiran ini tentu saja sudah melewati tahap debat bersama seorang teman dekat yang ngotot bahwa memaafkan itu bagian penting dalam hidup dan harus dilakukan. Kalau nggak trus kenapa? – bukan Shasya kalau nggak nantang. Lalu temen saya yang setengah malaikat dan setengahnya lagi bodoh ini bilang, “tidak memaafkan itu menghalangi energi positif dari dalam diri sehingga bla bla bla bla….”.
Masa bodoh dengan energi positif yang tersumbat itu tadi. Kalau dengan tidak memaafkan membuat kamu merasa lebih baik, so what. Just walk away, do anything that will make you feel better. Thats what life is about.
Postingan yang terdengar angkuh sekali, memang.
kalo ndak memaapkeun walau ndak brati dendam tapi ada energi negatip yang disimpeun. tidak baik untuk jiwa raga dan pikireun.
seperti bawa tas ransel. memaafkan seperti lepasin satu batu. kalau ndak maapin banyak batu masih dalam pikulan tas. berat melangkah.
tapi memaafkan juga tak pernah mudah untuk satu dua kasus tertentu. Neneng mendapati bahwa dalam kasus ini lebih mudah walk away, left everything behind daripada memaksa diri untuk memaafkan yang mungkin bahkan tak perlu dimaafkan.
oh i know exactly how you feel.
We don’t need to forgive when we don’t feel like it. Kita yang disakiti kenapa harus memaafkan.
itulah dia π
oo, udah 35 tahun lebih ya? kalau salah fokus..mohon dimaafkan… π
tapi terjawab ya pertanyaanmu selama ini π
Matius 18:21-22
Simon Petrus datang kepada Yesus dan bertanya,βTuhan, sampaiberapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?(ayat 21)
Tuhan Yesus menjawab, βBukan! ….Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kaliβ.(ayat 22).
Cuma mau bilang ci, klo udah 35 tahun menurut aku kuota udah nggak usah kasih maaf lagi pasti udah terpenuhi. *digeprok*
Lagian mengutip dao ming se “kalo semua selesai dengan maaf untuk apa ada polisi”
aku bimbang antara mau geprok kamu apa peluk ya…..hmmmm
When we forget, we already forgive.
by the time we forget, kita mungkin sudah bau tanah nanti.
aku padamu mba…
tulisanmu mewakili aku banget
memaafkan memang sama sulitnya dengan melupakan
iya, akhirnya aku menyerah π
perlu hati yg sangat luas utk bisa memaafkan dengan tulus, kalau melupakan sih susah hehe
itu dia π
Maafin aku ya!
udah dimaapin dari kemaren
#IniApaSih : ))
ah sama ni dengan yang gw rasakan..
salam kenal btw π
salam kenal, Tia Putri. Makasih ya udah mampir π
ternyata saya ga sendirian π