Menyenangkan menonton film Indonesia belakangan ini. Kita tidak lagi dipaksa melihat akting pas-pasan seperti dulu. Akting yang bahkan kalau kita lihat di sinetron aja rasanya pengen banting tivi itu lho. Udah ga ada cin, yang main film sekarang canggih-canggih, mainnya natural, ngomongnya natural, kadang-kadang bikin kita lupa kalau kita lagi nonton film.
Semalam, atas saran seorang teman *melirik tajam pada yang bersangkutan*, saya pergi nonton Tabula Rasa. Saya suka nonton bioskop, tapi bukan penggemar berat. Meluangkan waktu 2 jam di bioskop untuk saya harus selalu ada alasan kuat. Banyak yang bilang, ini film tentang makanan, mungkin itu sebabnya si kawan, kita sebut saja namanya Nauval Yazid meminta saya nonton film ini. Toh semua tau saya emang tukang makan kan? Kan.
Di 30 menit pertama (dah hampir di 75 menit selanjutnya), alur film ini bergerak lambat. Bercerita soal Hans, si pemuda Papua yang merantau ke Jakarta demi mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pemain bola. Dalam rangka membuat cerita menjadi menarik, tentu saja cita-cita ini kandas di tengah jalan. Hans diperankan dengan asik oleh Jimmy Kobogau. Pendatang baru atau bukan, saya kurang tau. Aktingnya saya bilang asik karena di saat yang bersamaan saya bisa ngerasain kasian sekaligus sebel sama tokoh Hans.
Setelah disuguhi beberapa adegan menggambarkan betapa sulitnya usaha Hans untuk bertahan hidup di Jakarta, maka kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh lain di film ini. Ada Dewi Irawan yang berperan sebagai Mak, dan 2 pria lain yang kalau kamu pengen tau namanya bisa cek disini aja.
Sebelum nonton tentu saja kita sudah mendengar garis besar film ini : seorang pemuda papua yang gagal mewujudkan mimpinya, malah kemudian jadi tukang masak di sebuah tempat masakan Padang. Yang aneh apa? Satu, tadinya dia pemain bola, kedua dia bukan orang Padang. Tapi justru setelah dia yang masak, kedai itu jadi ramai lagi setelah sebelumnya sepi pengunjung. Jadi cerita yang menarik kan dengan dua keanehan ini? Iya harusnya sih.
Kalau kamu nggak suka kekerasan, kamu mungkin akan suka film ini. Pasalnya, setiap ada konflik, redanya selalu cepat. Konflik digambarkan dengan debat sejenak, kemudian adem lagi. Kalau saya nggak salah, mungkin ada 5-6 kali adegan semacam ini. Cocok buat kamu yang nggak suka liat orang berantem. Pada ademnya cepet cin. Temen nonton saya semalam bilang “filmnya hening ya”. Dan saya pun angguk-angguk setuju.
Balik ke soal ‘film ini soal makanan’. Saya agak berharap banyak sih, berharap lebih banyak adegan dan dialog yang menggambarkan betapa pentingnya rasa makanan bagi lidah orang. Saya juga berharap banyak filosofi yang diangkat makanan itu sendiri. Tentu saya juga berharap banyak adegan yang secara visual menggambarkan Masakan Padang dari proses sampai jadi dihidangkan di atas meja. Bukannya nggak ada sih, ada kok visual gimana proses masak ini dilakukan di dapur, walaupun didominasi oleh proses menumbuk cabe dan bawang yang kemudian saya bayangkan ditambah terasi kemudian jadi sambel khas masakan Sunda. Kamu juga mungkin akan jadi pengen makan Rendang setelah berulang kali melihat Hans mengaduk santan di kuali besar dengan api dari kayu, bukan dari gas karena masak Rendang itu apinya harus kecil dan mengaduknya harus sabar dan pas.
Konflik terbesar di film ini mungkin ketika Mak tiba-tiba sakit dan masuk rumah sakit sehingga Hans harus masak sendiri di dapur. Tentu saja masakannya seenak masakan Mak, namanya juga pemeran utama, harus jagoan. Tidak lama kemudian, Mak keluar dari rumah sakit dengan jalan sedikit pincang, lalu kemudian masalah selesai.
Bagaimana dengan masalah si Hans sendiri? Apakah akhirnya dia jadi pemain bola seperti cita-cita awalnya? Atau kemudian dia jadi juru masak Masakan Padang ternama? Atau kemudian dia pulang kampung halaman dan buka restoran Padang disana dan kemudian sukses? Kalau mau tau ya kamu harus nonton sendiri.
Oya, satu hal penting ketika nonton Tabula Rasa adalah ternyata Hot Peach Tea nya XXI enak ya, cobain deh. Pas sama dinginnya gedung bioskop, apalagi saya kelupaan bawa pashmina semalam.
Daripada hot peach tea, aku lebih suka Java Tea Special yang pake selasih. Enak. Gak bikin eneg. Cobain deh. Trus jangan lupa bawa pashmina, apalagi kalo malem2 ……….. “Nonton Bioskop”!
lain kali aku coba ah kalo “Nonton Bioskop” lagi. Siomaynya belum ada kemajuan ya?
Dan gw setelah nonton ini langsung cari rumah makan padang… lapaaaar! š
ahaha, aku makan sebelum nonton jadi ga terlalu ngefek ^^
ada tiket gratisan buat saya.. mungkin?
duh sayang sekali aku ga punya gratisan kayak kemaren2. kalo ada aku pasti halo-halo kamu ya
siap..ditunggu !! btw, next week saya mau ngirim sesuatu juga…. selamat menunggu.. š