Tabula Rasa & Keheningannya

('minjem' dari 21Cineplex.com)

(‘minjem’ dari 21Cineplex.com)

Menyenangkan menonton film Indonesia belakangan ini. Kita tidak lagi dipaksa melihat akting pas-pasan seperti dulu. Akting yang bahkan kalau kita lihat di sinetron aja rasanya pengen banting tivi itu lho. Udah ga ada cin, yang main film sekarang canggih-canggih, mainnya natural, ngomongnya natural, kadang-kadang bikin kita lupa kalau kita lagi nonton film.

Semalam, atas saran seorang teman *melirik tajam pada yang bersangkutan*, saya pergi nonton Tabula Rasa. Saya suka nonton bioskop, tapi bukan penggemar berat. Meluangkan waktu 2 jam di bioskop untuk saya harus selalu ada alasan kuat. Banyak yang bilang, ini film tentang makanan, mungkin itu sebabnya si kawan, kita sebut saja namanya Nauval Yazid meminta saya nonton film ini. Toh semua tau saya emang tukang makan kan? Kan.

Di 30 menit pertama (dah hampir di 75 menit selanjutnya), alur film ini bergerak lambat. Bercerita soal Hans, si pemuda Papua yang merantau ke Jakarta demi mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pemain bola. Dalam rangka membuat cerita menjadi menarik, tentu saja cita-cita ini kandas di tengah jalan. Hans diperankan dengan asik oleh Jimmy Kobogau. Pendatang baru atau bukan, saya kurang tau. Aktingnya saya bilang asik karena di saat yang bersamaan saya bisa ngerasain kasian sekaligus sebel sama tokoh Hans.

Setelah disuguhi beberapa adegan menggambarkan betapa sulitnya usaha Hans untuk bertahan hidup di Jakarta, maka kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh lain di film ini. Ada Dewi Irawan yang berperan sebagai Mak, dan 2 pria lain yang kalau kamu pengen tau namanya bisa cek disini aja.

Sebelum nonton tentu saja kita sudah mendengar garis besar film ini : seorang pemuda papua yang gagal mewujudkan mimpinya, malah kemudian jadi tukang masak di sebuah tempat masakan Padang. Yang aneh apa? Satu, tadinya dia pemain bola, kedua dia bukan orang Padang. Tapi justru setelah dia yang masak, kedai itu jadi ramai lagi setelah sebelumnya sepi pengunjung. Jadi cerita yang menarik kan dengan dua keanehan ini? Iya harusnya sih.

Kalau kamu nggak suka kekerasan, kamu mungkin akan suka film ini. Pasalnya, setiap ada konflik, redanya selalu cepat. Konflik digambarkan dengan debat sejenak, kemudian adem lagi. Kalau saya nggak salah, mungkin ada 5-6 kali adegan semacam ini. Cocok buat kamu yang nggak suka liat orang berantem. Pada ademnya cepet cin. Temen nonton saya semalam bilang “filmnya hening ya”. Dan saya pun angguk-angguk setuju.

Balik ke soal ‘film ini soal makanan’. Saya agak berharap banyak sih, berharap lebih banyak adegan dan dialog yang menggambarkan betapa pentingnya rasa makanan bagi lidah orang. Saya juga berharap banyak filosofi yang diangkat makanan itu sendiri. Tentu saya juga berharap banyak adegan yang secara visual menggambarkan Masakan Padang dari proses sampai jadi dihidangkan di atas meja. Bukannya nggak ada sih, ada kok visual gimana proses masak ini dilakukan di dapur, walaupun didominasi oleh proses menumbuk cabe dan bawang yang kemudian saya bayangkan ditambah terasi kemudian jadi sambel khas masakan Sunda. Kamu juga mungkin akan jadi pengen makan Rendang setelah berulang kali melihat Hans mengaduk santan di kuali besar dengan api dari kayu, bukan dari gas karena masak Rendang itu apinya harus kecil dan mengaduknya harus sabar dan pas.

Konflik terbesar di film ini mungkin ketika Mak tiba-tiba sakit dan masuk rumah sakit sehingga Hans harus masak sendiri di dapur. Tentu saja masakannya seenak masakan Mak, namanya juga pemeran utama, harus jagoan. Tidak lama kemudian, Mak keluar dari rumah sakit dengan jalan sedikit pincang, lalu kemudian masalah selesai.

Bagaimana dengan masalah si Hans sendiri? Apakah akhirnya dia jadi pemain bola seperti cita-cita awalnya? Atau kemudian dia jadi juru masak Masakan Padang ternama? Atau kemudian dia pulang kampung halaman dan buka restoran Padang disana dan kemudian sukses? Kalau mau tau ya kamu harus nonton sendiri.

Oya, satu hal penting ketika nonton Tabula Rasa adalah ternyata Hot Peach Tea nya XXI enak ya, cobain deh. Pas sama dinginnya gedung bioskop, apalagi saya kelupaan bawa pashmina semalam.

Yasmine The Movie, Antara Review, Spoiler dan Curcol

Saya memang bukan penggemar berat film. Nonton film tentu saja suka. Di bioskop, tentu saja. Kalau di rumah kebanyakan direcokin sama urusan anak dan urusan bikin kopi biasanya. Film yang saya suka biasanya ga jauh dari drama komedi, drama menye, dan drama-drama lainnya. Film-film box office macam The Avengers, Spiderman dll bukan film tipe saya. Kalaupun saya nonton ya pasti dengan alasan nemenin anak aja.

Minggu lalu ada 2 tiket melayang ke meja saya, untuk nonton sebuah film berjudul Yasmine. Saya tentu saja pernah denger judul film ini, dimana lagi kalau bukan di Path pemberi tiket nontonnya? Waktu menerima tiket ini saya baru sadar kenapa si pemberi tiket sudah lama tidak bercakap-cakap santai dengan saya, dan sudah lama pula sejak saya terakhir menerima surat dengan tulisan tangannya (iya ini tahun 2014, dan iya kami masih surat-suratan pake tulisan tangan). Ternyata waktunya menulis surat untuk saya habis karena mengurusi film ini.

Maka di sela-sela kesibukan saya (yang adalah tidur-tiduran dan belanja sepatu), saya menyempatkan diri dateng ke XXI BIP yang sekarang disebut XXI Empire hari Rabu kemarin. Seperti yang saya pernah keluhkan di twitter kemarin-kemarin, kenapa sih film bagus kok mainnya bentar banget. Untuk film sebagus Yasmine, satu minggu di bioskop tentulah tidak cukup. Dan saya menyesal kenapa nggak nonton lebih awal biar tulisan ini bisa lebih cepat keluar dan bisa (siapa tau) bikin kamu pengen nonton filmnya.

Yasmine, Menembus Batas Demi Cinta

Yasmine, Menembus Batas Demi Cinta

5 menit duduk dan menyaksikan adegan pertama, saya kira ini film silat beneran. Baru 15 menitan setelahnya saya sadar bahwa ini film remaja. Cerita soal remaja Brunei yang cerita hidupnya ga beda-beda jauh sama remaja di kita, perihal sekolah, pergaulan, orang tua, dan tetek bengeknya. Yasmine diperankan dengan sangat baik oleh Lilyana Yus. Menurut informasi yang saya terima, katanya gadis remaja ini bener-bener baru di bidang film, belum pernah main film sama sekali. Kalau begitu, saya harus bilang wow karena aktingnya natural, seperti karakter Yasmine ini diciptakan sesuai karakternya sendiri.

Lilyana Yus as Yasmine

Lilyana Yus as Yasmine

 

Ada siapa lagi di film ini? Nama2 yang tentu kamu kenal seperti Reza Rahadian (kali ini saya yakin itu dia dan ga ketuker lagi sama Herjunot Ali seperti waktu film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk), ada Dwi Sasono yang sangat menghibur sepanjang film, dan ada Agus Kuncoro yang kadar menghiburnya sama ketika dia memerankan sosok penjahat di Comic8 (sampe sini bahasa saya kayak movie blogger banget ga sih?).

Yang istimewa dari film ini adalah semua pemeran bermain dengan sangat natural, tidak ada satupun sosok yang bikin ganggu. Termasuk guru mengaji Yasmine yang sepanjang film terus mengunyah kue cincin. Itupun saya nilai menganggu karena saya jadi penasaran gimana rasanya kue cincinnya itu.

Dua karakter yang menjadi teman dekat Yasmin sepanjang film juga patut diacungi 2 jempol, tidak physically gorgeous2 banget, tapi bermain sangat pas. Begitu juga dengan peran teman-teman Yasmine yang lain, sampai ke musuhnya yang kok cantik banget sih? Seriusan, sampe lebih cantik dari pemeran utamanya. Semua bermain natural, sampe sempet lupa kita lagi nonton film (ok ini lebay, maafkan).

Cerita Yasmine bukan cerita pelik kok, masalah yang dihadapi biasa-biasa aja, diawali soal cemburu. Cemburu memang bikin perempuan bisa melakukan apa saja, positif atau negatif. Berakibat jadi bagus, atau berakibat jelek. Semua bisa. Jangan anggap remeh kekuatan cemburu, jangan aja. Film ini contohnya. Dan bener dugaan saya selama ini, yang namanya cemburu itu lebih banyak kaitannya dengan ego kok daripada dengan cinta itu sendiri. Ketika akhirnya kita sudah memenangkan ego itu sendiri, cinta kadang-kadang jadi nggak ada artinya lagi. Penyebab kenapa kita sampe cemburu pun hilang begitu saja, yang penting posisi sudah di ‘atas’ dan kita tau kita menang. Pesan moral yang juga bisa dianggap sebagai selfnote dari film ini adalah next time dirundung cemburu, coba dipikir, karena cinta apa karena ego?

Yasmine memang sudah tidak tayang di bioskop-bioskop di Bandung, tapi di Jakarta kayaknya masih ada. Di Bandung sih sudah digantikan dengan film berjudul “Olga & Billy Lost in Singapore” (I know, I know). Bila ada waktu senggang, pergilah nonton, saya yakin kamu pasti akan menikmati film itu lebih dari saya menikmati Siomay gorengnya XXI (gosh, XXI seriusan harus belajar bikin Siomay Goreng dari tukang Siomay yang beneran).

Di luar kenyataan bawah bapaknya Yasmine terlalu ganteng, terlalu necis, dan terlalu rapi untuk jadi ‘sekedar’ petugas perpustakaan dan kenapa anak perempuannya pake mobil Mini Cooper tapi nggak bisa bayar sekolah swasta, film ini memang perlu ditonton. Sesuai pesan pengirim tiket, tontonlah dengan siapa yang kamu cintai. (note : saya nonton bertiga sama sepasang sepatu baru)

note : gambarnya ‘minjem’ dari 21cineplex.com & theguardian.com

Bukan Resensi Laskar Pelangi

Cerita yang ketelatan nih. Akhirnya, Senin minggu lalu itu saya jadi nonton Laskar Pelangi sama anak2 kantor. Setelah terkutuk abis tiket di hari Sabtu, akhirnya kita berhasil juga nonton. Seperti udah saya ceritain sebelumnya, itu pertama kali (setelah berbelas2 tahun) ga pernah nonton sama temen2. Well, it was fun! Jadi pengen lagi deh, guys….

Nonton Bareng

Nonton Bareng

Soal filmnya…. well…. udah banyak yang kasih resensi, jadi mangga aja dibaca diluar sana, banyak kok. Tapi ada beberapa point ga penting yang masuk di kepala saya waktu nonton kemarin ;

1. Harus ya, (hampir) setiap felem Indonesia ada Tora Sudiro?

2. Sempet il-feel liat Rieke Diah Pitaloka di felem itu, hahaha. Untung maennya sebentar doang

3. Dipikir2, ga nemu ide sapa yang bisa berperan jadi si Ibu guru itu kalo bukan Cut Mini. Ada ide?

4. Scene favorit saya adalah waktu si Ikal itu jatuh cinta dan bunga2 mulai bertebaran, duuuhhh…. apalagi waktu mulai patah hati dan jadinya malah gedombrengan pada jatoh itu barang2 di toko

5. Selalu, dan selalu loves actingnya Robby Tumewu di semua film. Apalagi Ca Bau Kan, aduuuuhhh…. jangan2 pada lupa kalo dia itu sebenernya designer baju 😛

6. Jadi mendadak pengen travelling ke daerah pantai berbatu2 besar tempat mereka lari2 dan ‘diikrarkan’ jadi Laskar Pelangi ga sih? Yuuukkk…..

7. Selalu *heart* Alex Komang !

Apa lagi yah? ntar deh, update lagih, kalo ada yang teringat lagih.