Harga Earphone Lebih Murah Dari Es Kopi Susu

Seorang teman yang kebetulan orang Jepang bilang sejak kecil ibunya sering bilang bahwa hakekat yang melekat pada manusia adalah mengganggu manusia lain. Jadi keberadaan kita memang sedikit banyaknya akan mengganggu manusia lain. Keberadaan kita di dalam satu ruangan akan mengganggu orang lain yang ada di ruangan itu juga. Apalagi kalau ruangannya kecil kayak lift, atau tempat ngopi tempat makan yang ukurannya mini-mini. Jadi ibunya berpesan supaya dia berusaha semaksimal mungkin supaya keberadaannya tidak menganggu orang lain yang ada di sekitar dia.

Obrolan ini membuat saya jadi teringat saat duduk di tempat umum trus orang sebelah nonton youtube tanpa earphone. Atau saat ngopi ada seorang ibu bawa anak dan anaknya main game dengan suara kencang. Atau juga saat di kereta dan bapak-bapak di belakang saya video call dengan istrinya ngabarin dia udah otw pulang, lagi-lagi tanpa earphone. Juga saat ketemu mbak-mbak kantoran yang nampaknya sedang WFH, meeting online tanpa earphone sehingga kami-kami jadi dengar atasannya ngomel.

Padahal harga earphone bisa semurah Rp. 12.000, lebih murah dari es kopi susu kebanyakan.

Tentu saja mengobrol di ruang publik adalah hal yang sangat wajar terjadi. Duduk berdua ya akan ada 2 orang yang ngobrol, duduk berlima pun begitu. Tapi alangkah tidak fair kalau yang duduk 1 orang tapi kita yang ada di dekatnya mesti denger suara orang lain yang bahkan tidak ada di ruangan yang sama dengan kita. Sayangnya beginian masih dianggap wajar oleh kebanyakan orang sekitar kita. Menegur mereka artinya siap berantem atau bahkan dimaki balik.

Ini dari tadi mau menutup tulisan ini dengan sebuah closure atau kesimpulan yang manis. Tapi ga nemu. Ga nemu gimana solusinya biar orang yang satu kereta sama kita sadar bahwa kita ga pengen denger dia video call dengan volume kenceng, ga pengen ngerti kenapa orang tua ngga bilangin anaknya kalau main game handphone di tempat umum suaranya jangan kenceng-kenceng nanti pengunjung lain keganggu, ga pengen ngertiin kenapa orang-orang ini nggak pada beli earphone aja.

Yang penting kita jangan gitu aja lah yah.

Food Reviewer – Berjasa Bikin Laris?

Sebuah topik yang terlalu menggelitik untuk tidak jadi satu postingan blog. Karena sebelum berjualan makanan, saya lumayan sering menulis review makanan di surgamakan dot com. Jaman ini belum ada Instagram untuk menulis review makanan. Apalagi Tiktok. Sebagai yang suka nulis soal makanan, waktu itu saya lumayan sering diundang untuk mencoba makanan dan menulis review. Tujuannya tentu saja mempromosikan makanan lalu diharapkan bikin laris.

Pertamanya saya masih suka datang memenuhi undangan walau tetap menolak bayaran. Kemudian saya berhenti datang ke undangan apapun setelah sekali waktu bertemu dengan seorang manager operasional sebuah tempat makan Thailand di Bandung (sekarang tempat makannya udah tutup) yang kemudian bertanya “Setelah saya mengundang Mbak Shasya ke sini, kira-kira berapa orang yang kemudian akan datang ke sini”. Saya tersenyum mangkel “Kalau pertanyaannya begitu, hire sales manager Pak bukan undang food blogger“.

Jaman berkembang kemudian food reviewer hadir dengan berbagai media dari Instagram, Tiktok, Youtube, you name it. Di semua platform social media pasti ada yang namanya food reviewer. Berjamurnya food reviewer ini tentu saja disebabkan oleh banyaknya netizen yang mencari referensi makanan di sana.

Tak sedikit tempat makan yang kemudian menjadi ramai setelah didatangi food reviewer. Ada yang baru buka langsung ramai (bisa jadi karena memang sengaja mengundang reviewer, bisa jadi karena tempatnya baru maka para reviewer ini ramai-ramai mendatangi tempat itu). Ada pula tempat-tempat lama yang tadinya biasa-biasa aja kemudian jadi banyak orang tau dan kemudian semakin laris. Bagus? Tentu saja!

Read More

Tabula Rasa & Keheningannya

('minjem' dari 21Cineplex.com)

(‘minjem’ dari 21Cineplex.com)

Menyenangkan menonton film Indonesia belakangan ini. Kita tidak lagi dipaksa melihat akting pas-pasan seperti dulu. Akting yang bahkan kalau kita lihat di sinetron aja rasanya pengen banting tivi itu lho. Udah ga ada cin, yang main film sekarang canggih-canggih, mainnya natural, ngomongnya natural, kadang-kadang bikin kita lupa kalau kita lagi nonton film.

Semalam, atas saran seorang teman *melirik tajam pada yang bersangkutan*, saya pergi nonton Tabula Rasa. Saya suka nonton bioskop, tapi bukan penggemar berat. Meluangkan waktu 2 jam di bioskop untuk saya harus selalu ada alasan kuat. Banyak yang bilang, ini film tentang makanan, mungkin itu sebabnya si kawan, kita sebut saja namanya Nauval Yazid meminta saya nonton film ini. Toh semua tau saya emang tukang makan kan? Kan.

Di 30 menit pertama (dah hampir di 75 menit selanjutnya), alur film ini bergerak lambat. Bercerita soal Hans, si pemuda Papua yang merantau ke Jakarta demi mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pemain bola. Dalam rangka membuat cerita menjadi menarik, tentu saja cita-cita ini kandas di tengah jalan. Hans diperankan dengan asik oleh Jimmy Kobogau. Pendatang baru atau bukan, saya kurang tau. Aktingnya saya bilang asik karena di saat yang bersamaan saya bisa ngerasain kasian sekaligus sebel sama tokoh Hans.

Setelah disuguhi beberapa adegan menggambarkan betapa sulitnya usaha Hans untuk bertahan hidup di Jakarta, maka kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh lain di film ini. Ada Dewi Irawan yang berperan sebagai Mak, dan 2 pria lain yang kalau kamu pengen tau namanya bisa cek disini aja.

Sebelum nonton tentu saja kita sudah mendengar garis besar film ini : seorang pemuda papua yang gagal mewujudkan mimpinya, malah kemudian jadi tukang masak di sebuah tempat masakan Padang. Yang aneh apa? Satu, tadinya dia pemain bola, kedua dia bukan orang Padang. Tapi justru setelah dia yang masak, kedai itu jadi ramai lagi setelah sebelumnya sepi pengunjung. Jadi cerita yang menarik kan dengan dua keanehan ini? Iya harusnya sih.

Kalau kamu nggak suka kekerasan, kamu mungkin akan suka film ini. Pasalnya, setiap ada konflik, redanya selalu cepat. Konflik digambarkan dengan debat sejenak, kemudian adem lagi. Kalau saya nggak salah, mungkin ada 5-6 kali adegan semacam ini. Cocok buat kamu yang nggak suka liat orang berantem. Pada ademnya cepet cin. Temen nonton saya semalam bilang “filmnya hening ya”. Dan saya pun angguk-angguk setuju.

Balik ke soal ‘film ini soal makanan’. Saya agak berharap banyak sih, berharap lebih banyak adegan dan dialog yang menggambarkan betapa pentingnya rasa makanan bagi lidah orang. Saya juga berharap banyak filosofi yang diangkat makanan itu sendiri. Tentu saya juga berharap banyak adegan yang secara visual menggambarkan Masakan Padang dari proses sampai jadi dihidangkan di atas meja. Bukannya nggak ada sih, ada kok visual gimana proses masak ini dilakukan di dapur, walaupun didominasi oleh proses menumbuk cabe dan bawang yang kemudian saya bayangkan ditambah terasi kemudian jadi sambel khas masakan Sunda. Kamu juga mungkin akan jadi pengen makan Rendang setelah berulang kali melihat Hans mengaduk santan di kuali besar dengan api dari kayu, bukan dari gas karena masak Rendang itu apinya harus kecil dan mengaduknya harus sabar dan pas.

Konflik terbesar di film ini mungkin ketika Mak tiba-tiba sakit dan masuk rumah sakit sehingga Hans harus masak sendiri di dapur. Tentu saja masakannya seenak masakan Mak, namanya juga pemeran utama, harus jagoan. Tidak lama kemudian, Mak keluar dari rumah sakit dengan jalan sedikit pincang, lalu kemudian masalah selesai.

Bagaimana dengan masalah si Hans sendiri? Apakah akhirnya dia jadi pemain bola seperti cita-cita awalnya? Atau kemudian dia jadi juru masak Masakan Padang ternama? Atau kemudian dia pulang kampung halaman dan buka restoran Padang disana dan kemudian sukses? Kalau mau tau ya kamu harus nonton sendiri.

Oya, satu hal penting ketika nonton Tabula Rasa adalah ternyata Hot Peach Tea nya XXI enak ya, cobain deh. Pas sama dinginnya gedung bioskop, apalagi saya kelupaan bawa pashmina semalam.