“Katanya Bali udah mulai macet juga? Gimana mau slow living di sana?”
Ada 2 reaksi saya ketika mendengar teman bertanya begini. Yang pertama : Bali mana dulu yang macet. Kalau perginya ke area turis di musim libur dan menjelang atau sesudah sunset, ya iya macet. Untuk saya yang tinggal di Denpasar, macet-macet ini masih bisalah dihadapi tanpa sumpah serapah, ada beberapa ruas jalan yang memang baiknya dihindari di jam-jam tertentu.
Beberapa tahun lalu di sebuah restoran milik teman saya sebut saja namanya Ghya karena memang itu namanya tertulis kata-kata semacam gini di buku menunya :
We understand that you’re trying to save this planet or trying to be healthier by bringing your own water to our place but please do understand that we’re trying to run a business here
Seorang teman yang kebetulan orang Jepang bilang sejak kecil ibunya sering bilang bahwa hakekat yang melekat pada manusia adalah mengganggu manusia lain. Jadi keberadaan kita memang sedikit banyaknya akan mengganggu manusia lain. Keberadaan kita di dalam satu ruangan akan mengganggu orang lain yang ada di ruangan itu juga. Apalagi kalau ruangannya kecil kayak lift, atau tempat ngopi tempat makan yang ukurannya mini-mini. Jadi ibunya berpesan supaya dia berusaha semaksimal mungkin supaya keberadaannya tidak menganggu orang lain yang ada di sekitar dia.
Obrolan ini membuat saya jadi teringat saat duduk di tempat umum trus orang sebelah nonton youtube tanpa earphone. Atau saat ngopi ada seorang ibu bawa anak dan anaknya main game dengan suara kencang. Atau juga saat di kereta dan bapak-bapak di belakang saya video call dengan istrinya ngabarin dia udah otw pulang, lagi-lagi tanpa earphone. Juga saat ketemu mbak-mbak kantoran yang nampaknya sedang WFH, meeting online tanpa earphone sehingga kami-kami jadi dengar atasannya ngomel.
Padahal harga earphone bisa semurah Rp. 12.000, lebih murah dari es kopi susu kebanyakan.
Tentu saja mengobrol di ruang publik adalah hal yang sangat wajar terjadi. Duduk berdua ya akan ada 2 orang yang ngobrol, duduk berlima pun begitu. Tapi alangkah tidak fair kalau yang duduk 1 orang tapi kita yang ada di dekatnya mesti denger suara orang lain yang bahkan tidak ada di ruangan yang sama dengan kita. Sayangnya beginian masih dianggap wajar oleh kebanyakan orang sekitar kita. Menegur mereka artinya siap berantem atau bahkan dimaki balik.
Ini dari tadi mau menutup tulisan ini dengan sebuah closure atau kesimpulan yang manis. Tapi ga nemu. Ga nemu gimana solusinya biar orang yang satu kereta sama kita sadar bahwa kita ga pengen denger dia video call dengan volume kenceng, ga pengen ngerti kenapa orang tua ngga bilangin anaknya kalau main game handphone di tempat umum suaranya jangan kenceng-kenceng nanti pengunjung lain keganggu, ga pengen ngertiin kenapa orang-orang ini nggak pada beli earphone aja.
Sejak punya anak pertama, saya langsung memutuskan bahwa punya anak cukup satu saja. Kalau diceritain alasannya bisa banyak dan panjang, yang jelas sampai menjelang usia anak saya mau 17tahun, keinginan saya tetap sama : punya anak mau satu aja. Tentu saja saya kemudian sering mendengar cerita teman-teman yang anaknya lebih dari satu. Dari cerita manis bagaimana si kakak mahir mengasuh adiknya, sampai adiknya yang selalu ikutin kakaknya ke manapun pergi, juga cerita-cerita adik kakak berantem, ga akur, dan lain-lain.
Yang paling menarik dari semua cerita itu adalah bagaimana 2 orang anak yang dibesarkan oleh orang tua yang sama, dengan metode yang sama, diberi makan makanan yang sama dan segala sesuatu yang sama ternyata bisa menghasilkan 2 jenis orang yang sangat berbeda. Contohnya banyak banget, ada teman yang anaknya terpaut usia sedikit tapi yang satu ekstra introvert yang satu ekstra ekstrovert. Ada pula yang satu serius banget yang satunya lagi hobby bercanda dan santai-santai. Ya sebetulnya ga usah jauh-jauh, saya punya 3 adik laki-laki yang tabiatnya berbeda total satu sama lain. Padahal ya orang tuanya sama, makannya sama, diajarnya sama, diperlakukannya juga sama.
Dalam kurun waktu 8-9 bulan belakangan ini saya akhirnya merasakan sendiri kisah punya anak 2 ini.
Tentu saja saya tidak hamil kemudian melahirkan, ini lagi ngomongin soal Cici Claypot dan Sarinande Kitchen Bali, 2 warung kecil yang saya perlakukan seperti anak sendiri. Dilahirkan dengan penuh sadar dan dengan bahagia, diasuh dan dibesarkan sepenuh hati kalau bisa kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala. Yang pasti hati ini rasanya tumpah ruah untuk kedua anak saya ini.
Namun seperti halnya punya anak 2 itu tadi, ternyata 2 warung yang saya lahirkan dengan cara yang sama dan dibesarkan dengan cara yang sama ini punya karakternya masing-masing. Saya ingat persis 5 tahun lalu saat buka Cici Claypot selama 4 bulan setiap hari saya stand by di warung dari buka sampai tutup, setiap hari tanpa pernah absen sampe rasanya nggak punya social life kecuali dengan teman-teman dan pelanggan yang datang makan ke warung. Setelah 4 bulan, saya baru bisa sesekali pergi, baik absen sebentar istirahat di rumah atau pergi traveling singkat. Long story short, perkembangan Cici Claypot bisa dibilang cukup pesat. We survived pandemic, we did a lot of collaborations and innovations bahkan di tahun ketiga kemudian lahir Cici Claypot Medan yang diikuti dengan Cici Claypot Bali 2 minggu kemudian.
Cici Claypot Medan
Cici Claypot Bali
Tentu saja saya berpikir Sarinande Kitchen Bali kurang lebih akan bernasib sama. Walau memang kali ini saya nggak bisa full straight 4 bulan selalu hadir di lokasi, ya karena lokasinya di Bali sementara hidup saya masih terbagi-bagi antara Bali dan Bandung. Tapi yaa saya kira kurang lebih akan samalah hasilnya. Wong sebelum tidur sama-sama dipikirin, bangun tidur sama-sama dipikirin dan saat menyetir atau naik motor sama-sama dipikirin juga, nggak ada yang lebih banyak dipikirin, nggak ada yang anak tiri, semua anak kesayanganku, begitulah kira-kira yang ada di dalam kepala saya.
Tapi ya itulah ya, ternyata memang apa yang kita perlakukan sama belum tentu memberikan hasil yang sama. Supaya tidak menafikan berkat yang sudah saya terima dari anak kedua saya ini, saya mesti bilang bahwa hasilnya sebetulnya nggak jelek-jelek amat, nggak membuat saya nggak happy apalagi membuat saya menyesali keputusan berjualan nasi rames. Yang bisa saya bilang hanya ; perjalanannya tidak semudah dan semulus anak pertama. Ada banyak perhatian ekstra yang diperlukan, kehadiran fisik saya lebih banyak diharapkan, juga banyak usaha ekstra yang perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang membuat saya (lebih) happy.
Perlu diakui kalau 6 paragraf di atas isinya adalah kisah romantisasi berbisnis. Padahal yang namanya bisnis, sebaiknya tidak diromantisasi – ini yang pernah seorang teman bilang waktu saya curhat soal ini dan itu. Ya memang perlakuannya sama, tapi dalam berbisnis kan ada banyak faktor lain selain faktor hati yang tercurah 100% itu tadi. Ada faktor lokasi, inovasi, promosi, produk, servis, dan lain-lain dan lain-lain.
Kalau dulu saya suka tegas bilang sama yang minta saran bisnis F&B nomer satu untuk selalu konsisten, kali ini saya merasakan sendiri memang konsisten itu hal yang sulit ya. Dulu saya selalu bilang “jualan mesti konsisten, jangan hari ini buka besok engga, jangan banyak libur, harus buka terus”. Kali ini saya merasakan sendiri yang namanya short of human resource sehingga ya memang sekali dua kali harus tutup warung karena adanya keterbatasan. Begitulah ya, seringkali kita mesti ngerasain jalan di sepatu orang dulu untuk tau gimana rasanya jadi dia.
Meanwhile, please wait for an exciting news from Sarinande Kitchen Bali 😉
“Aku sih nggak mau jualan makanan kayak mama kalau aku udah besar nanti” – begitu kata Biyan anak saya yang cuma satu-satunya itu. Yang namanya hati sempat mencelos juga waktu saya dengar dia bilang begitu. Bukan apa-apa, tadinya saya sempat merasa ini mungkin pekerjaan yang paling menyenangkan yang pernah saya kerjakan, dan saya ingin nanti dia bisa meneruskan apa yang pernah saya mulai ketika umur dia masih di bangku SD kelas 6 (ya kita aminkan aja bahwa jual-jualan makanan ini bisa bertahan setidaknya sampai 2 generasi ya kan?).
“Aku kira jualan makanan itu hanya soal masak dan dagangnya aja, tapi urusan mama kayaknya lebih dari itu dan BANYAK BANGET MAM” – katanya lagi.
Ya memang iya sih. Dulu waktu mulai berdagang makanan saya juga berpikir begitu, masak yang enak, jualan, promo-promo di socmed, hello-hello sama customer yang makan, repeat terus begitu.
Ternyata enggak.
Berdagang makanan ternyata artinya kamu mesti dealing sama manusia lain. Ada supplier, ada karyawan, ada landlord, ada customer, ada pengangkut sampah, ada teknisi listrik, ada tukang, ada kurir, dan rentetan orang lain yang mau nggak mau bersinggungan erat dengan dagangan kamu. Dan tentu saja, nggak semuanya klik dengan baik sama kamu. Ada yang karena gaya bicara yang berbeda, ada yang karena adat istiadat yang berbeda, ada yang karena maksud yang berbeda, ada karena ya emang nyebelin aja.
Pekerjaan ringan yang rutin saya lakukan sejak 5 tahun lalu berjualan makanan adalah posting jam operasional warung di social media. Ini bukan berarti kemudian tidak ada yang nanya di DM “Kak bukanya jam berapa ya?”. Kalau mengikuti kata hati rasanya ingin : ITU BACA UDAH DITULIS! Tapi ga bisa karena berdagang artinya bukan hanya pribadi kita aja yang kita bawa depan publik. Karenanya saya selalu menjawab dengan baik tapi sambil menambahkan bahwa keterangan tersebut sudah ada di profile IG, di Google, dan IG story. Tadinya saya berpikir mencerdaskan kehidupan bangsa bukan kewajiban pedagang makanan seperti saya, tapi kemudian saya berpikir lagi, mungkin ini adalah sedikit yang bisa saya lakukan untuk menggerakkan orang-orang agar mau membaca.
Celetukan Biyan di atas sebetulnya muncul saat saya harus membalas DM “boleh bawa binatang peliharaan ke warung Kak?”. Menulis ini aja membuat saya menarik napas cukup panjang. Pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk dijawab. Karena kalau saya jawab iya, warung saya kemudian seolah-olah pet friendly padahal sebetulnya tidak terlalu karena nggak punya kebun (ini lagi cerita warung di Bandung). Kalau saya jawab nggak boleh, ya sebenernya bukan ga boleh juga, tapi kadang kalau pas warung lagi penuh, otomatis orang duduk berdekatan, bahkan tak sekali dua kali harus share meja dengan tamu lain, jadinya yaa kalau ada yang bawa binatang peliharaan pasti mengganggu. Tapi nanti kalau ditegur mungkin saya akan dapat jawaban “lho katanya boleh?!”. Begitulah, serba salah.
Berdagang makanan juga membuat saya harus menerima komplenan perihal parkir. Padahal sebagai warung yang belum punya basement 1 dan 2 untuk parkir, petugas parkir yang ada di sekitar warung saya di Bandung dan Bali bukan karyawan kami sehingga sulit juga untuk mewajibkan mereka melakukan apa yang saya mau. Belum lagi parkir memang selalu jadi masalah ketika ramai, apalagi warung di Bandung bertetangga dengan banyak tempat makan, tempat jajan oleh-oleh dan tempat ngopi. Saya menyebut ini happy problem karena sepusing-pusingnya dikomplen soal parkir, pasti lebih pusing kalau sama sekali nggak ada yang parkir karena nggak ada yang mampir ke warung kita. Duh amit-amit dulu yuk *ketuk ketuk meja*.
Tapi ya berdagang makanan memang begini adanya. Bukan hanya perihal masak yang enak lalu ada yang beli, senang, besok ulangi lagi, terus begitu. Saya pernah bilang pada salah satu karyawan “buka warung itu mirip seperti menyetir mobil jarak jauh, kita harus terus jalan tapi ga boleh lupa liat ada apa di kiri kanan, ga boleh lupa cek kondisi mobil, apa ban perlu diganti, apa perlu diisi angin, apa perlu diisi bensin, mungkin kadang kita bisa ngebut tapi kadang kita mesti memperlambat laju sedikit”.
Jadi seneng nggak Shas berdagang makanan? Ya senenglah. If there is life after life, maybe I’d do this all over again (kalau nggak laku jadi super model)