don’t Broadcast, Let’s Talk :)
Secara nggak sengaja hari Sabtu kemarin saya ketemu dengan teman SMP. Begitu ketemu, yang dia tanyakan bukannya kabar, tapi Pin BB. Saya sih sebenernya nggak terlalu suka punya banyak contact list di BBM. Yang perlu-perlu ajalah, yang memang sering kontak, atau sekalian yang ada urusan kerjaan (yang ini jarang sih sebenernya).
Sayangnya, saya tipe yang ngedumel tapi nggak enak kalo nggak ngasih, jadi yah, akhirnya tukeran pin juga. Beberapa hari kemudian si teman mengundang chat, conference dengan beberapa teman lain. Disinilah keseruan itu dimulai. Dari bertiga, conference berkembang jadi 5 dan terus bertambah. Di akhir hari, akhirnya terbentuk grup alumni SMP dengan anggota 25 ajah. Yak, bayangkanlah kerecokannya.
Yang paling banyak jadi bahan pembicaraan adalah saling mengingat satu sama lain. Disinilah komentar2 fisik bermunculan. Itu lho yang tinggi, yang pendek, yang keriting, yang rambutnya lurus, yang kurus, yang gendut, dan deretan panggilan fisik lainnya. Sebagian besar masih mengenal satu sama lain. Tapi ada juga yang lupa-lupa. Parahnya, setelah diupload foto, masih tetep aja ada yang lupa. Saya sendiri ingat hampir semua, kecuali 1 orang yang mungkin berubah banget atau memang waktu SMP nggak pernah maen bareng. Untungnya semua masih inget sama saya, kali karena saya bandel 😀
Dalam 2 hari, pembicaraan nggak selesai-selesai, BB terus aja bergetar pertanda ada yang lagi chat. Saya sih mundur teratur dan menikmati jadi penonton pembicaraan mereka. Uniknya, kumpulan teman-teman SMP ini seperti terbelah di dua group. Soalnya, SMP saya dulu menerapkan pembagian kelas berdasarkan ranking. Di taun pertama, kalau masuk kelas A, berarti kumpulan anak-anak pinter dan kalau masuk kelas H, berarti dengan anak-anak yang ehem, kurang pinter. Taun kedua sebaliknya, kalau dapat kelas G, berarti pinter, begitu seterusnya. Karena saya sekarang sudah lulus dan sudah cukup tua dewasa untuk berpendapat, ijinkanlah saya berteriak “pembagian kelas yang bodoh, heeeeeeeeeeeeeeyyyyyyyyyyyyy!!!”. Membuat pergaulan menjadi terkotak-kotak dan nggak memberi kesempatan untuk yang ‘kurang pinter, bahkan menjadikan anak-anak di kelas pinter menjadi kuper. Ha, so relieved to finally say that.
Setelah lulus sekolah dan mungkin kuliah, setelah kita semua ada di dunia yang ‘beneran’ ini, emangnya masih perlu pembagian itu ? Ambil contoh, teman SD saya yang dulunya juara kelas, sekarang jadi ibu rumah tangga, dan teman saya yang waktu SMP kerjanya ketinggalan kelas, sekarang punya beberapa toko gadget dan termasuk pengusaha yang lumayan disegani di Bandung. See? maksud saya bukan merendahkan mereka yang kerjanya jadi ibu rumah tangga yah, tapi justru mau ngasih contoh bahwa even if you failed in your school, you still gonna make it in your life later.
Selama saya menulis ini obrolan masih terus berjalan dan saya memilih menjadi penonton setia aja. Soalnya pembicaraan lagi berkisar di “eh anak lu lucu banget” “eh lu kurus banget dan cantik” “eh anak lu udah berapa” “eh anak lu les dimana”. Dum di dam di dum di dam, just nooooot my favourite subject yaaa……
Sempat beberapa kali berniat untuk leave group, tapi masih kepentok perasaan ga enak hati. Menyadari bahwa komunitas ini mungkin bukan komunitas yang bisa dengan mudah saling mengerti kalau ada suatu saat kita musti mundur dan memilih untuk tidak lagi mendengarkan atau melibatkan diri dalam sebuah percakapan.
Komunitas yang saya temui di jagad maya biasanya lebih terbuka terhadap perbedaan. Lebih terbuka terhadap pilihan orang yang tentu berbeda satu sama lain. Perihal approve tak approve atau perihal follow-unfollow tidak usah masuk hati.
Tapi dengan teman lama yang deketnya kagok, memang banyak kagoknya. Mau approve kok ya kayak nggak perlu, mau decline eh ga enak hati. Belakangan saya memilih approve, lalu membiarkan apa yang musti terjadi ya terjadi. Kadang-kadang contact list itu hilang dengan sendirinya, kali mereka ganti handset, atau mereka yang duluan menghapus saya dari list nya.
Punya banyak contact list banyak juga sih nyebelinnya. Broadcast Message adalah salah satunya. Yang namanya Broadcast Message atau BM ini emang banyak kali ganggu sih ya. Kadang2 isinya suka ga penting. Pernah satu kali dapet kayak gini “URGENT! Ada bayi lagi koma, butuh Gol darah AB segera, telepon ke xxxxxx.”. Ok, menolong orang apalagi urusan nyawa sih ya emang iya penting. Tapi sebelum kita broadcast, udah dicek belom sih nomer teleponnya Mas? Karena waktu saya cek, nomernya tidak aktif. Dan 3 hari kemudian, bahkan seminggu kemudian saya masih aja terima BM serupa.
BM yang belakangan saya terima berupa (maaf) kebodohan yang nyaris tidaak dapat ditolerir. Isinya mewajibkan kita untuk lanjut mengirimkan BM tersebut ke semua contact list kita, supaya kemudian pulsa kita terisi secara otomatis. Hari gini? pulsa gratis ? Oh man.
Gini deh ya. Yang namanya provider telepon seluler itu udah canggih-canggih Bung, logika nya dimana dengan kirim BM bisa jadi pengisian pulsa gratis? OK, mungkin mereka yang kirim BM juga mikirnya, “ya kirim ajalah, who knows” alias coba-coba. Duh, tapi kan ganggu.
Ada lagi BM yang enggak banget. Katanya kita harus broadcast ulang,kalo engga hal buruk akan terjadi sama kita. Saya memang sama sekali tidak religius taapi juga tidak berminat menggantukan diri pada sebuah BM.
Menulis ini memang cukup jadi dilemma. Mana tau ada yang pernah BM saya dan baca tulisan ini. Kemudian merasa tersinggung dan merasa saya menyindirnya lewat tulisan. Tapi percayalah kawan, nggak ada maksud nyindir secara pribadi. Ini pandangan saya mengenai BM BM itu tadi. Selama masih nyaman mengirimkan saya BM, silakan saja. Dibaca atau engga, kan gimana nanti 🙂