Yasmine The Movie, Antara Review, Spoiler dan Curcol

Saya memang bukan penggemar berat film. Nonton film tentu saja suka. Di bioskop, tentu saja. Kalau di rumah kebanyakan direcokin sama urusan anak dan urusan bikin kopi biasanya. Film yang saya suka biasanya ga jauh dari drama komedi, drama menye, dan drama-drama lainnya. Film-film box office macam The Avengers, Spiderman dll bukan film tipe saya. Kalaupun saya nonton ya pasti dengan alasan nemenin anak aja.

Minggu lalu ada 2 tiket melayang ke meja saya, untuk nonton sebuah film berjudul Yasmine. Saya tentu saja pernah denger judul film ini, dimana lagi kalau bukan di Path pemberi tiket nontonnya? Waktu menerima tiket ini saya baru sadar kenapa si pemberi tiket sudah lama tidak bercakap-cakap santai dengan saya, dan sudah lama pula sejak saya terakhir menerima surat dengan tulisan tangannya (iya ini tahun 2014, dan iya kami masih surat-suratan pake tulisan tangan). Ternyata waktunya menulis surat untuk saya habis karena mengurusi film ini.

Maka di sela-sela kesibukan saya (yang adalah tidur-tiduran dan belanja sepatu), saya menyempatkan diri dateng ke XXI BIP yang sekarang disebut XXI Empire hari Rabu kemarin. Seperti yang saya pernah keluhkan di twitter kemarin-kemarin, kenapa sih film bagus kok mainnya bentar banget. Untuk film sebagus Yasmine, satu minggu di bioskop tentulah tidak cukup. Dan saya menyesal kenapa nggak nonton lebih awal biar tulisan ini bisa lebih cepat keluar dan bisa (siapa tau) bikin kamu pengen nonton filmnya.

Yasmine, Menembus Batas Demi Cinta

Yasmine, Menembus Batas Demi Cinta

5 menit duduk dan menyaksikan adegan pertama, saya kira ini film silat beneran. Baru 15 menitan setelahnya saya sadar bahwa ini film remaja. Cerita soal remaja Brunei yang cerita hidupnya ga beda-beda jauh sama remaja di kita, perihal sekolah, pergaulan, orang tua, dan tetek bengeknya. Yasmine diperankan dengan sangat baik oleh Lilyana Yus. Menurut informasi yang saya terima, katanya gadis remaja ini bener-bener baru di bidang film, belum pernah main film sama sekali. Kalau begitu, saya harus bilang wow karena aktingnya natural, seperti karakter Yasmine ini diciptakan sesuai karakternya sendiri.

Lilyana Yus as Yasmine

Lilyana Yus as Yasmine

 

Ada siapa lagi di film ini? Nama2 yang tentu kamu kenal seperti Reza Rahadian (kali ini saya yakin itu dia dan ga ketuker lagi sama Herjunot Ali seperti waktu film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk), ada Dwi Sasono yang sangat menghibur sepanjang film, dan ada Agus Kuncoro yang kadar menghiburnya sama ketika dia memerankan sosok penjahat di Comic8 (sampe sini bahasa saya kayak movie blogger banget ga sih?).

Yang istimewa dari film ini adalah semua pemeran bermain dengan sangat natural, tidak ada satupun sosok yang bikin ganggu. Termasuk guru mengaji Yasmine yang sepanjang film terus mengunyah kue cincin. Itupun saya nilai menganggu karena saya jadi penasaran gimana rasanya kue cincinnya itu.

Dua karakter yang menjadi teman dekat Yasmin sepanjang film juga patut diacungi 2 jempol, tidak physically gorgeous2 banget, tapi bermain sangat pas. Begitu juga dengan peran teman-teman Yasmine yang lain, sampai ke musuhnya yang kok cantik banget sih? Seriusan, sampe lebih cantik dari pemeran utamanya. Semua bermain natural, sampe sempet lupa kita lagi nonton film (ok ini lebay, maafkan).

Cerita Yasmine bukan cerita pelik kok, masalah yang dihadapi biasa-biasa aja, diawali soal cemburu. Cemburu memang bikin perempuan bisa melakukan apa saja, positif atau negatif. Berakibat jadi bagus, atau berakibat jelek. Semua bisa. Jangan anggap remeh kekuatan cemburu, jangan aja. Film ini contohnya. Dan bener dugaan saya selama ini, yang namanya cemburu itu lebih banyak kaitannya dengan ego kok daripada dengan cinta itu sendiri. Ketika akhirnya kita sudah memenangkan ego itu sendiri, cinta kadang-kadang jadi nggak ada artinya lagi. Penyebab kenapa kita sampe cemburu pun hilang begitu saja, yang penting posisi sudah di ‘atas’ dan kita tau kita menang. Pesan moral yang juga bisa dianggap sebagai selfnote dari film ini adalah next time dirundung cemburu, coba dipikir, karena cinta apa karena ego?

Yasmine memang sudah tidak tayang di bioskop-bioskop di Bandung, tapi di Jakarta kayaknya masih ada. Di Bandung sih sudah digantikan dengan film berjudul “Olga & Billy Lost in Singapore” (I know, I know). Bila ada waktu senggang, pergilah nonton, saya yakin kamu pasti akan menikmati film itu lebih dari saya menikmati Siomay gorengnya XXI (gosh, XXI seriusan harus belajar bikin Siomay Goreng dari tukang Siomay yang beneran).

Di luar kenyataan bawah bapaknya Yasmine terlalu ganteng, terlalu necis, dan terlalu rapi untuk jadi ‘sekedar’ petugas perpustakaan dan kenapa anak perempuannya pake mobil Mini Cooper tapi nggak bisa bayar sekolah swasta, film ini memang perlu ditonton. Sesuai pesan pengirim tiket, tontonlah dengan siapa yang kamu cintai. (note : saya nonton bertiga sama sepasang sepatu baru)

note : gambarnya ‘minjem’ dari 21cineplex.com & theguardian.com

Menyusuri Tarutung Sampai Samosir

Sampe sekarang saya nggak pernah ngerti kenapa perjalanan yang (sempat jadi) perjalanan terasik taun ini kok ya baru diposting sekarang setelah terlambat selama, oh well 6 bulan. Beginilah kalo penulis amatiran merangkap pekerja kantoran merangkap ibu-ibu yang selain ngurus anak juga rewel minta me time terus menerus.

Pendek cerita, bulan Februari lalu saya ‘pulang kampung’ ke Sumatera Utara. Kenapa pulang kampung kesana padahal muka Hongkong begini? Kampung suami maksudnya, kebetulan alm bapaknya berasal dari Tomok, Samosir, dan ibunya berasal dari Tarutung, Tapanuli Utara. Kemarin itu, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, kami mengunjungi 2 tempat ini. Tentu mampir sana sini, misalnya Medan dan Siantar dengan alasan apalagi kalau bukan nyari makanan enak. Tulisan perihal makanan sudah saya posting duluan disini.

Siang itu kami nyampe Bandara Kualanamu Pk. 14.00an, tiba disana cukup tercengang ya, dibandingkan dengan bandara Polonia, wah jauh banget. Kualanamu (waktu itu) mungkin salah satu bandara paling bagus yang pernah saya lihat di Indonesia. Berhubung baru, tentu saja semua sudutnya masih bersih dan yang paling asik adalah mereka kaya sign age, ga peli, jadi walaupun baru kesana ga akan nyasar.

Mobil jemputan susah menanti kami di pintu keluar. Lho yang jemputnya mirip Restu Sinaga. Dari Kualanamu, ga pake mampir Medan, kami langsung menuju Tarutung. Perjalanan ditempuh dalam waktu 11 jam. Mungkin hampir mirip dengan jarak dari Bandung ke Jogjakarta. Kalo ga pake kebanyakan berenti dengan alasan makan, ngopi dan merokok mungkin perjalanan ini bisalah ditempuh dalam waktu 8 jam-an.

Sampai di Tarutung, saya baru menyadari satu hal : saya salah kostum! Ternyata Tarutung ini dingin banget! sementara saya walaupun berbekal celana panjang, cuma bawa 1 jaket tipis alias cardigan yang terkadang menahan dinginnya mall di Jakarta aja ndak sanggup.

Tarutung terkenal dengan pemandian air panas alaminya. Yang dengan bodohnya saya lewatkan begitu saja. Sebenernya, kunjungan kami ke Tarutung waktu itu adalah untuk memakamkan nenek kami yang meninggal beberapa hari sebelumnya. Jadilah 2 malam itu kami habiskan di rumah yang senantiasa penuh dengan tamu lengkap dengan nyanyian dan tarian yang selalu ada setiap saat. Pengalaman yang seru juga, untuk pertama kalinya Biyan manortor dan ternyata dia langsung seneng. Saya cukup tercengang dengan dandanan ibu-ibu yang dengan niat banget dandan ke salon untuk upacara adat pemakaman ini. Belakangan saya baru tau bahwa acara pemakaman ini bisa juga dianggap pesta, apalagi nenek yang meninggal bisa dibilang sudah bisa mendapatkan pesta adat tertinggi karena semua putra putrinya sudah menikah dan punya anak, maka bisa dibilang tuntaslah kewajibannya. Belajar budaya baru kan selalu seru ya, maka saya pun menikmati menonton semua “atraksi” di dalam upacara pemakanan ini. Walaupun setelah jam 2 siang saya mulai bosan kemudian jalan-jalan ke sawah di depan rumah, nonton kerbau dan sekaligus foto-foto kaki buat #gerakankakidiatasmejatiapjumat. Ketika semakin sore dan upacara masih belum selesai juga, saya mulai iseng-iseng jajan tuak di pedagang asongan dadakan yang tiba-tiba berdatangan dan berdagang di halaman kami. Seru juga tuak asli di Tarutung ini, 5 ribu rupiah saja sudah bikin puyeng dan kemudian bikin meracau.

Usai pemakanan, besokannya kami meneruskan perjalanan ke Samosir, persisnya ke Tomok. Perjalanan yang ditempuh selama 4 jam ini sungguh menyenangkan, pasalnya ya tentu saja pemandangan yang luar biasa cantik. Sayang sekali saya nggak sempat foto-foto, saking menikmati pemandangan cakep di luar jendela mobil. Selain itu, tangan juga sibuk pegang snack sih..

4 jam-an kemudian, kita sampe di pelabuhan yang ferynya gede banget itu, yang bakal membawa kita ke Samosir. Sambil nunggu ferry, saya sempet makan Ikan Tombur yang enaknya surga dunia, lagi-lagi ceritanya ada disini

Ferry menuju Samosir ditempuh dalam waktu 20 menitan. Sayang sekali himbauan dilarang merokok di ferry sama sekali nggak diindahkan penumpang. Padahal bahan bakar ditaro di dalam ferry juga.

IMG_3040

Sampe di Samosir saya kemudian nyadar, daerah ini sudah lama banget jadi daerah wisata ya. Saya aja yang umur 30 sekian baru menginjakkan kaki disana. Begitu ‘mendarat’ dari Ferry, kami sudah disambut beragam toko yang menjual pakaian, dan souvenir khas Toba. Berhubung saya bukan penggemar belanja kala jalan-jalan, maka jejeran toko itu pun saya lewati begitu saja. Tujuan utama, ke jejeran rumah adat. Kenapa? Karena keluarga kami masih punya satu rumah yang dipertahankan disitu. “keluarga kami” disini artinya keluarga besaaaaaaar sekali ya. Artinya yang punya banyakan 🙂

Yang seru dari kunjungan ke makam keluarga ini adalah waktu hampir kejatuhan duren di makam. Abisnya pohon duren banyak banget dan waktu memang lagi banyak yang berjatuhan. Saya bukan penggemar berat duren, tapi kalau ada yang jatuh depan mata ya pasti ga ditolak. apalagi ternyata beneran yang orang bilang, duren yang jatuh sendiri dari pohonnya, rasanya lebih enak dari duren yang dipetik. Rasanya kepengen mengulang perjalanan ini demi duren yang berjatuhan dari pohon itu.

 

Katanya kalau ke Tomok, haruslah mampir ke makam Raja Sidabutar, ceritanya dari sinilah silsilah keluarga kami berasal. Makamnya unik, katanya sih dibuat persis dengan wajah si Raja ini dulu. Masuk ke kompleks makam ini pengunjung diwajibkan pake ulos yang disediakan secara gratis oleh penjaganya. Kalau kesorean, biasanya makam ini dikunci dan kita cuma bisa liat dari luar. Beberapa pengunjung kemudian juga mengambil kesempatan berdoa disitu.

Makam Raja Sidabutar

Makam Raja Sidabutar

Buat yang tertarik sama budaya Batak, bisa cari tau di Museum Batak yang ada di deket-deket Makam Raja Sidabutar itu, lengkap keterangannya. Kalo ngga salah sih ada guide nya juga yang akan dengan senang hati menjelaskan.

Perjalanan ke Samosir ini memang belum lengkap, saya belum sempat menyaksikan cantiknya Danau Toba dari sisi yang lain. Karena area yang kami lewati memang area danau yang biasa aja. Artinya apa? Artinya tahun depan harus ke Samosir lagi, cari spot cantik. Barengan yuk.

Eya, waktu kami menginap di Medan semalam nunggu flight paginya ke Bandung, kita dengan mudah booking via klikhotel.com. Karena waktu itu sempet lupa book hotel. Keasikan siap-siap jalan sampe beneran lupa, untungnya bisa book di klikhotel.com, bisa via henpon pula, bayarnya gampang juga tinggal transfer via bca, semuanya dibikin mudah sama klikhotel, thanks yaw 🙂