Sopankah Membawa Minum Sendiri ke Tempat Makan?

Wow sebuah judul yang to the point ya Kak.

Beberapa tahun lalu di sebuah restoran milik teman saya sebut saja namanya Ghya karena memang itu namanya tertulis kata-kata semacam gini di buku menunya :

We understand that you’re trying to save this planet or trying to be healthier by bringing your own water to our place but please do understand that we’re trying to run a business here

Read More

Food Reviewer – Berjasa Bikin Laris?

Sebuah topik yang terlalu menggelitik untuk tidak jadi satu postingan blog. Karena sebelum berjualan makanan, saya lumayan sering menulis review makanan di surgamakan dot com. Jaman ini belum ada Instagram untuk menulis review makanan. Apalagi Tiktok. Sebagai yang suka nulis soal makanan, waktu itu saya lumayan sering diundang untuk mencoba makanan dan menulis review. Tujuannya tentu saja mempromosikan makanan lalu diharapkan bikin laris.

Pertamanya saya masih suka datang memenuhi undangan walau tetap menolak bayaran. Kemudian saya berhenti datang ke undangan apapun setelah sekali waktu bertemu dengan seorang manager operasional sebuah tempat makan Thailand di Bandung (sekarang tempat makannya udah tutup) yang kemudian bertanya “Setelah saya mengundang Mbak Shasya ke sini, kira-kira berapa orang yang kemudian akan datang ke sini”. Saya tersenyum mangkel “Kalau pertanyaannya begitu, hire sales manager Pak bukan undang food blogger“.

Jaman berkembang kemudian food reviewer hadir dengan berbagai media dari Instagram, Tiktok, Youtube, you name it. Di semua platform social media pasti ada yang namanya food reviewer. Berjamurnya food reviewer ini tentu saja disebabkan oleh banyaknya netizen yang mencari referensi makanan di sana.

Tak sedikit tempat makan yang kemudian menjadi ramai setelah didatangi food reviewer. Ada yang baru buka langsung ramai (bisa jadi karena memang sengaja mengundang reviewer, bisa jadi karena tempatnya baru maka para reviewer ini ramai-ramai mendatangi tempat itu). Ada pula tempat-tempat lama yang tadinya biasa-biasa aja kemudian jadi banyak orang tau dan kemudian semakin laris. Bagus? Tentu saja!

Read More

Oh Gini Rasanya Beranak Dua

Sejak punya anak pertama, saya langsung memutuskan bahwa punya anak cukup satu saja. Kalau diceritain alasannya bisa banyak dan panjang, yang jelas sampai menjelang usia anak saya mau 17tahun, keinginan saya tetap sama : punya anak mau satu aja. Tentu saja saya kemudian sering mendengar cerita teman-teman yang anaknya lebih dari satu. Dari cerita manis bagaimana si kakak mahir mengasuh adiknya, sampai adiknya yang selalu ikutin kakaknya ke manapun pergi, juga cerita-cerita adik kakak berantem, ga akur, dan lain-lain.

Yang paling menarik dari semua cerita itu adalah bagaimana 2 orang anak yang dibesarkan oleh orang tua yang sama, dengan metode yang sama, diberi makan makanan yang sama dan segala sesuatu yang sama ternyata bisa menghasilkan 2 jenis orang yang sangat berbeda. Contohnya banyak banget, ada teman yang anaknya terpaut usia sedikit tapi yang satu ekstra introvert yang satu ekstra ekstrovert. Ada pula yang satu serius banget yang satunya lagi hobby bercanda dan santai-santai. Ya sebetulnya ga usah jauh-jauh, saya punya 3 adik laki-laki yang tabiatnya berbeda total satu sama lain. Padahal ya orang tuanya sama, makannya sama, diajarnya sama, diperlakukannya juga sama.

Dalam kurun waktu 8-9 bulan belakangan ini saya akhirnya merasakan sendiri kisah punya anak 2 ini.

Read more: Oh Gini Rasanya Beranak Dua

Tentu saja saya tidak hamil kemudian melahirkan, ini lagi ngomongin soal Cici Claypot dan Sarinande Kitchen Bali, 2 warung kecil yang saya perlakukan seperti anak sendiri. Dilahirkan dengan penuh sadar dan dengan bahagia, diasuh dan dibesarkan sepenuh hati kalau bisa kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala. Yang pasti hati ini rasanya tumpah ruah untuk kedua anak saya ini.

Namun seperti halnya punya anak 2 itu tadi, ternyata 2 warung yang saya lahirkan dengan cara yang sama dan dibesarkan dengan cara yang sama ini punya karakternya masing-masing. Saya ingat persis 5 tahun lalu saat buka Cici Claypot selama 4 bulan setiap hari saya stand by di warung dari buka sampai tutup, setiap hari tanpa pernah absen sampe rasanya nggak punya social life kecuali dengan teman-teman dan pelanggan yang datang makan ke warung. Setelah 4 bulan, saya baru bisa sesekali pergi, baik absen sebentar istirahat di rumah atau pergi traveling singkat. Long story short, perkembangan Cici Claypot bisa dibilang cukup pesat. We survived pandemic, we did a lot of collaborations and innovations bahkan di tahun ketiga kemudian lahir Cici Claypot Medan yang diikuti dengan Cici Claypot Bali 2 minggu kemudian.

Cici Claypot Medan
Cici Claypot Bali

Tentu saja saya berpikir Sarinande Kitchen Bali kurang lebih akan bernasib sama. Walau memang kali ini saya nggak bisa full straight 4 bulan selalu hadir di lokasi, ya karena lokasinya di Bali sementara hidup saya masih terbagi-bagi antara Bali dan Bandung. Tapi yaa saya kira kurang lebih akan samalah hasilnya. Wong sebelum tidur sama-sama dipikirin, bangun tidur sama-sama dipikirin dan saat menyetir atau naik motor sama-sama dipikirin juga, nggak ada yang lebih banyak dipikirin, nggak ada yang anak tiri, semua anak kesayanganku, begitulah kira-kira yang ada di dalam kepala saya.


Tapi ya itulah ya, ternyata memang apa yang kita perlakukan sama belum tentu memberikan hasil yang sama. Supaya tidak menafikan berkat yang sudah saya terima dari anak kedua saya ini, saya mesti bilang bahwa hasilnya sebetulnya nggak jelek-jelek amat, nggak membuat saya nggak happy apalagi membuat saya menyesali keputusan berjualan nasi rames. Yang bisa saya bilang hanya ; perjalanannya tidak semudah dan semulus anak pertama. Ada banyak perhatian ekstra yang diperlukan, kehadiran fisik saya lebih banyak diharapkan, juga banyak usaha ekstra yang perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang membuat saya (lebih) happy.

Perlu diakui kalau 6 paragraf di atas isinya adalah kisah romantisasi berbisnis. Padahal yang namanya bisnis, sebaiknya tidak diromantisasi – ini yang pernah seorang teman bilang waktu saya curhat soal ini dan itu. Ya memang perlakuannya sama, tapi dalam berbisnis kan ada banyak faktor lain selain faktor hati yang tercurah 100% itu tadi. Ada faktor lokasi, inovasi, promosi, produk, servis, dan lain-lain dan lain-lain.

Kalau dulu saya suka tegas bilang sama yang minta saran bisnis F&B nomer satu untuk selalu konsisten, kali ini saya merasakan sendiri memang konsisten itu hal yang sulit ya. Dulu saya selalu bilang “jualan mesti konsisten, jangan hari ini buka besok engga, jangan banyak libur, harus buka terus”. Kali ini saya merasakan sendiri yang namanya short of human resource sehingga ya memang sekali dua kali harus tutup warung karena adanya keterbatasan. Begitulah ya, seringkali kita mesti ngerasain jalan di sepatu orang dulu untuk tau gimana rasanya jadi dia.

Meanwhile, please wait for an exciting news from Sarinande Kitchen Bali 😉