Air Mata Aja Dicicil
Tahun 2010 silam saya kehilangan Papa untuk selamanya, jadi setelah sakit dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, beliau akhirnya menyerah pada penyakit kanker yang bahkan tidak diketahuinya. Dalam jangka kurang waktu dari satu tahun setelah Papa pergi, kakek saya yang saya panggil Engkong juga pergi untuk selamanya. Cukup mengejutkan karena beliau tidak nampak sakit parah, bahkan sudah lama tidak ke dokter karena cukup sehat. Cuma karena umur aja geraknya tidak selincah dulu lagi. Dua tahun kemudian, minggu pertama Juli 2013 kemarin, nenek yang biasa saya panggil Ema, juga pergi meninggalkan kami sekeluarga setelah satu minggu dirawat di rumah sakit.
Nggak ada orang yang nggak nangis saat ditinggal orang yang disayangnya. Apalagi buat saya, Engkong dan Ema hampir seperti orang tua aja. Karena dari lahir sampai meninggalkan rumah karena menikah, saya tinggal bersama mereka. Semoga bukan cuma ge-er kalau saya merasa mereka juga udah kayak ke anak sendiri aja.
Dan ditinggalkan orang yang kita sayangi itu ternyata melelahkan. Selain emosi yang masih berantakan, kita juga kudu nemuin begitu banyak tamu yang berdatangan menyampaikan bela sungkawa. Belum lagi rangkaian kebaktian yang rasanya tak usai-usai. Oh belum lagi beli-beli barang keperluan ini itu. Kesana kemari, mikirin makan buat tamu dan keluarga yang datang, memutuskan banyak hal penting dalam hitungan waktu yang sangat singkat, misalnya kapan jenazah mau dikremasi, atau kapan waktu yang pas untuk kebaktian, dan lain-lain. Belum lagi ‘tugas’ memberitahu teman-teman terdekat almarhum, dimana sekali lagi kita harus cerita ulang bagaimana almarhum meninggal, mendengar mereka terkejut kemudian menangis, kemudian juga mendengar cerita mereka soal almarhum yang kita tidak pernah tahu sebelumnya. Ada cerita waktu saya mengabari sahabat Ema waktu beliau meninggal kemarin. Karena udah sama-sama cukup tua, mereka cukup lama nggak ketemuan, tapi masih kontak via telepon. Dari si oma ini saya dengar bahwa sebelum masuk rumah sakit, Ema telepon temannya ini dulu, ngobrol ngalur ngidul, ketawa-ketiwi. Lalu di ujung pembicaraan Ema bilang “maaf ya kalau selama ini punya salah, maaf kemarin situ sakit nggak bisa nengok, abis kebetulan nggak ada yang anter. Yang penting kita jauh di mata dekat di hati ya”. Firasat? Bisa jadi. Saya tidak terlalu percaya hal-hal begituan sebenernya. Buat saya bisa jadi hanya kebetulan. Karena saya tahu Ema memang suka telponan sama teman-temannya dan ngobrol ngalor ngidul. Persis kayak cucunya yang satu ini.
Repotnya mengurus masa persemayaman jenazah sampai saat dikremasi membuat kami sekeluarga, terutama saya mungkin, jadi tidak sempat memikirkan esensi kehilangannya itu sendiri. Nah pada saat “acara’ sudah selesai, ketika kami sekeluarga pulang dari rumah duka dan mendapati orang yang kita sayangi sangat itu nggak pulang bersama kita, dan kita mendapati kursi tempat mereka biasa duduk tau-tau kosong, itulah saat kehilangan yang paling berat. Tapi ‘untung’nya lagi, biasanya di waktu-waktu itu rumah masih cukup ramai, masih ada beberapa anggota keluarga yang masih stay, rumah masih cukup hangat. Mau nangis terus-terusan malu, dan yang sering terjadi sih pas mau nangis selalu ada tangan-tangan yang siap sedia memeluk dan berbagi kesedihan itu. Seringkali sedihnya hilang berganti hangat karena kita semua berbagi perasaan kehilangan yang sama.
Tapi ternyata, air mata itu datangnya bisa dicicil.
Bisa jadi kita nggak menangis banyak-banyak saat mereka meninggalkan kita. Tapi akan ada moment-moment, bahkan setelah hitungan tahun berlalu yang membuat kita kembali mengeluarkan air mata. Untuk saya, waktu pertama Biyan masuk sekolah adalah salah satu moment yang lumayan menyedihkan. Karena saya selalu ingat Papa suka wanti-wanti, “nanti Biyan sekolah Papa yang anter”. Waktu Biyan beranjak lebih besar, bisa ini bisa itu, sekali lagi cicilan air mata ini perlu dibayar. Karena betapa sedihnya saya menyadari Papa nggak pernah merasakan kebanggaan yang saya rasakan. Padahal saya tahu persis, kalau beliau masih ada, pasti lebih bangga sama cucunya ketimbang saya yang ibunya.
Cicilan air mata buat kehilangan Engkong biasanya saya rasakan saat pagi-pagi siap-siap ke kantor. Waktu mandi terutama. Karena dulu semasa sekolah, sewaktu saya mandi, Engkong biasanya menyiapkan sarapan. Jadi si cucu kesayangan ini begitu beres mandi langsung duduk di meja makan, tinggal makan doang. Rasa sedih itu juga suka datang tanpa sopan saat saya makan nasi goreng. Iya, nasi goreng. Kita di rumah suka bikin nasi goreng pake sosis. Saya sebenernya ga berapa suka sosis, jadi kami dulu suka duduk bersebelahan di meja makan, ngobrol sambil saya pindahin semua sosis di piring saya ke piring beliau. Sekarang, saat makan nasi goreng sosis, datang juga saatnya saya membayar cicilan air mata itu.
Dan Ema, yang baru aja pergi belum sampai 2 bulan lalu. Percaya atau nggak, saya masih suka nggak inget kalau beliau udah nggak ada. Pernah satu kali saya hampir parkir depan toko Serabi Solo dengan niat beli serabi karena itu kesukaannya. Saat hampir berhenti, saya baru sadar kalau Ema udah nggak ada. Itu tuh perasaan kehilangan yang paling pol, waktu kita bahkan merasa mereka masih ada dan kita masih akan ketemu mereka lagi. Juga bukan satu-dua kali saat di kantor saya melirik handphone saya sambil berpikir “kemana Ema kok tumben nggak nelepon”. Beliau sering sekali menelpon saya. Selalu ada aja hal yang menurut beliau perlu ditanyakan. Dari hal ga penting sampai yang lumayan penting. Kadang-kadang mengganggu waktu kerja ya, tapi sekarang saya rindu setengah mati akan telpon-telpon nggak pentingnya itu.
Air mata ini nggak bakalan tuntas terbayar, saya yakin itu.