Cerita di Balik Noda

Sudah 2 hari ada buku ini di tangan saya.

Image

Tulisannya Fira Basuki, yang sudah bertahun-tahun jadi salah satu penulis favorit saya. Saya mengikuti bukunya dari jaman Miss B sampai cerita-cerita spiritualnya yang muncul di buku-bukunya yang belakangan terbit. Waktu saya mendengar Fira menulis cerita inspiratif dari kisah ibu-ibu, saya sebagai ibu muda –uhuk- tentu saja ingin ikutan membaca.

Ada 42 kisah di dalamnya, 4 diantaranya tulisan Fira sendiri, yang lain adalah cerita dari ibu-ibu mengenai si kecilnya. Menarik. Dengan membaca satu buku aja, saya mendapat banyak cerita inspiratif yang bikin senyum-senyum sendiri, sambil angguk-angguk perlahan karena diam-diam merasakan pengalaman yang sama. Ada juga yang membuat saya tertawa terbahak karena ulah si kecilnya ibu-ibu ini.

Tanpa bermaksud projektif, mau tak mau saya jadi berkaca sendiri pada saya dan anak saya, Biyan. Sejak Biyan kecil, saya memang tidak over protektif (pssst!, papanya jauh lebih over protektif). Dari soal makanan, saya biarkan dia mencoba berbagai makanan. Sejak kecil saya biasakan dia makan eskrim, berbagai penganan, keripik-keripik dan lain lain. Alasannya cuma satu, biar badannya tahan.  Kebayang kan kalo anak dilarang makan segala macem, ya pasti daya tahan tubuhnya ga bagus. Lagian mau susah-susah melarang anak makan snack yang seringkali bikin batuk, eh taunya di sekolah ada temannya ulang taun, dia dibagi juga. Kalau ga pernah makan sama sekali kan malah gawat, malah sekali makan sakit deh entar.

Hal yang sama, saya terapkan soal main-main.  Urusan main, Biyan boleh main apa saja. Main sepeda di luar rumah, boleh. Main ikan di kolam ikan kecil di belakang rumah, boleh juga. Mainan tanah sambil gaya-gayaan seperti petani, boleh kok. Termasuk juga bantuin omanya masak di dapur (maklum, mamanya Biyan agak jarang turun ke dapur). Nanti kalau sudah belepotan pipinya (maklum mukanya pipi semua), lalu kotor baju sampai celananya, malah makin lucu, saya aja yang ibunya gemas J.  Pertamanya sih kegiatan kotor-kotoran ini bisa terjadi kalau papanya nggak ada di rumah. Maklum, papanya kan over protective, suka khawatir anaknya kenapa-napa. Agak berlebihan. Mainan tanah takut ada cacing, main di dapur takut kena cipratan minyak panas dan lain-lain. Ya kan diawasi dong Pa.

Pas Biyan mulai sekolah setahun lalu, papanya juga kaget karena di sekolah Biyan, murid-murid tidak wajib datang bersepatu, boleh saja bersendal jepit. Kenapa? Karena sampai sekolah, anak-anak kemudian bertelanjang kaki. Iya, bertelanjang kaki termasuk saat mereka lari lari di kebun rumput. Kotor sih iya, tapi udahnya mereka cuci kaki sebelum masuk ke kelas. Nah di kelas juga sama aja sih, nggak pakai alas kaki. Alasannya supaya anak-anak lebih nyaman, lebih bebas, dan juga terbiasa berkotor-kotor supaya nggak terlalu apik, dan menurut saya, metode ini lumayan efektif untuk membuat anak berani mencoba hal baru, dan juga mengajar mereka lebih berani dan ga tanggung-tanggung dalam bermain.  Plus, anak-anaknya juga pasti lebih happy kan ya.

Eh balik lagi ke Cerita di Balik Noda nya Fira Basuki. Selama ini saya selalu berpikir, jadi orang tua itu susah susah gampang. Ralat, susah banget. Nggak ada sekolahnya. Well, you always got friends atau orang tua yang bisa ditanya sih, tapi kan tiap anak beda ya, tiap anak unik dan istimewa, otomatis perlakuan dan trouble shootingnya juga ga bisa sama. Dari buku ini saya belajar bahwa ‘sekolah’ tempat kita belajar jadi orang tua ya si anak itu sendiri. Dari mereka kita belajar sabar, belajar bagaimana mengatasi masalah, belajar bagaimana jadi orang tua yang baik buat mereka.

Di sisi lain, membaca buku ini membuat saya ‘melek’ bahwa bukan anak saya aja yang lucu, hehe. -pede berlebihan-. Banyak cerita soal anak-anak pintar dan lucu di buku ini, sampe bacanya haru haru campur geli geli gemes gitu.

Oya, selain kudu baca bukunya, coba ini intip juga deh

http://www.facebook.com/RinsoIndonesia/app_120333761423365?ref=ts

Tiga Tiga Menuju Tiga Empat

Cepatnya satu tahun berlalu setahun ini bias saya bilang sudah di level sinting. Iya sinting cepetnya. Masih inget banget tahun lalu merenung renung umur kok udah 33 aja. Sekarang 34 aja cin K. Minggu lalu pas ke dokter, di resep kan dokternya nulis umur sambil ngeliat saya senyum, “udah 34 Sha, saya masih inget persis waktu kamu umur 18 taun”. That’s like what, 16 years ago.

Banyak hal terjadi di rentang tiga tiga ke tiga empat ini. Ga semuanya manis ga semuanya indah ga semuanya menyenangkan. Tapi selama jumlah yang baik baik mengimbangi, saya cukup senang.

Satu hal yang saya rasa telat disadari adalah ternyata selama tiga puluh tiga taun ke belakang ini saya tidak pernah cukup belajar. Kebanyakan karena tidak peduli. Banyak hal-hal menarik yang luput dari perhatian saya karena itu tadi, nggak peduli. Saya dikenal ga tau apa-apa. Bedanya Chris Rock sama Chris John aja masih ga fasih. Yah sekarang sih udah tau ya, tapi waktu diajak ngobrol soal itu sempet mikir lama which one is which dan akhirnya keburu diketawain.

Saya kan doyannya denger lagu. Eh baru belakangan sadar saya asli bisanya cuma denger doang. Ada banyak cerita di balik lagu, di balik penyanyi yang saya suka, di balik film yang saya tonton yang ternyata lagi lagi luput dari perhatian saya. Dulu saya nggak peduli, buat saya nggak penting tau lagu itu siapa yang bikin, sempat jadi soundtrack apa, atau dibuat dalam rangka apa. Cetek, selama lagu enak hayuk didenger aja. Belakangan saya baru nyadar, eh orang ternyata tau lho, mereka perhatian, bisa bilang “lagu itu satu album enak semua”. Saya? Manalah pernah hafal satu album itu apa aja isinya. Belakangan saya nyadar, gila, I’ve missed lots of interesting things.

Nih ya, banyak konser bertebaran di 2012 dan awal 2013 ini. 50%nya membuat saya berkerut kening dan “siapa sih itu? Kok konser konser disini emang orang pada tau?”. Boom, temen temen saya berbondong bondong nonton. Saya? Tau lagunya baru pas udah rame. Itu juga dikirim Teppy atau Ibeth yang concern tentang ‘keterbelakangan’ saya dalam urusan music.

Banyak PR yang musti dikejar ni, bukan cuma urusan musiklah, banyak yang lain-lainnya.  Intinya selama ini saya terlalu ga peduli, merasa baik baik aja dengan pengetahuan yang saya punya, nyatanya kadar ketidaktahuan saya sudah sampe level malu-maluin.

Jadi taun ini bakal lebih banyak belajar Neng? Insya Allah 

Enough about being ‘teu nyaho nanaon’, saya melewati banyak hal manis dari tiga tiga menuju tiga empat. Cukup bangga dengan diri sendiri yang saya nilai ga segrabak grubuk dulu, kayaknya sekarang bisa lebih tenang ngadepin apa-apa. Masa sih? Asli. Ada banyak masalah berdatangan yang bisa saya selesaikan sendiri. Dari masalah segede kuku sampe masalah segede lemari. Way to go lah pokoknya.

Oh trus taun ini mulai mikir kalau saya mulai harus punya spesifikasi bidang gitu. Agak iri (ga pake dengki) dengan teman-teman yang profesinya sangat spesifik. Mbak @editor_in_chic misalnya. Saya baru sadar, kalau profesi yang spesifik itu keren kedengerannya. Kerjaannya apa? Oh saya editor. Atau oh saya penulis buku. Atau oh saya guru. Ini kalau ada yang Tanya saya kerjaannya apa, saya nggak bisa jawab dengan satu kata kan? Harus diterangin dan itu membuatnya menjadi kurang keren. Ehem. Ginilah pokoknya, saya udah harus lebih spesifik tau dimana kelebihan saya. Masalahnya, kelebihannya cuma makan, gimana dong.

@vipertongue pernah bilang, karena saya doyannya makan, saya sebaiknya mendalami urusan makanan. Nah itu dia lagi masalahnya, saya ternyata kurang peduli soal latar belakang makanan lah, asal makanannya lah, dan cerita cerita lain di balik makanan selain rasa makanannya itu sendiri. Contohnya nih ya, saya kan (lumayan) rutin nulis di www.surgamakan.com. Harusnya, saya tuh bisa menyajikan info lengkap soal makanan pas review kan? At least alamat restonya harus bisa info orang lah. Nah ini kagak. Nama makanannya aneh sedikit aja 5 menit lupa. Dan nggak pernah juga pernah inget nulis alamat lengkap tempat makannya. Beda banget sama blogger yang lain, yang lengkap nulis alamat, no telepon dan website si restoran. BIasanya harganya detil juga. Sementara yang ada di www.surgamakan.com itu biasanya ya “di jalan A, belok kiri deket pom bensin, nah entar ada tuh sebelah kiri”. Trus kalo perihal harga palingan “sekitar dua puluh ribuan lah”. Ih pernah lho ada yang komplen “Mbak, harganya ternyata tiga puluh ribu sekian”. Yamaaap, kan ga dicatet :D.

Jadi entar mau nyoba ah, lebih detil dan lebih perhatian sama hal hal kecil, lebih peduli sama ini itu dalam rangka memperkaya diri sendiri. Oh yeah. (prakteknya belum tentu).

And today, is one of the best birthday, more than just celebrating my birthday, I’m totally celebrating life.