Survival Kit

Ini adalah postingan yang akan terdengar sangat emak-emak sekali. Bear with me, kadang-kadang rabid bundanya saya keluar dan saya pun berwujud emak-emak rempong. 

2 hari kemarin AC mobil rusak. Berpanas-panas jemput Biyan, terus dadah-dadah dari luar mobil pas saya balik ke kantor. Pipinya merah, rambutnya basah-basah keringetan. Duduk di kursi belakang (karena di depan panas dan silau katanya), trus keluarin tablet dari tasnya, main kali sampe nyampe ke rumah. Kalopun macet pasti nggak terasa. 

Saya saat itu mendadak mellow dan hampir nangis, tapi untuk alasan yang manis. Merasa bersyukur kalau Biyan bisa dianter jemput pulang pergi sekolah pake mobil. Selain itu, duduk di mobil pun nggak kesel karena selalu bawa mainannya sendiri. Kadang-kadang bawa puzzle, buku cerita, tablet, atau iPodnya. Kadang-kadang juga cuma bawa cemilan makanan, di jalan makan terus deh. Jadi inget masa kecil saya, ke sekolah naik angkot, mana harus jalan kaki dulu, terus belum lagi pulang sekolah angkotnya rebutan, panas-panasan. Komplit sudah rasanya kalau pake hujan turun. 

Beda banget keadaan sekarang sama dulu. Walaupun untuk memenuhi kebutuhan Biyan, sekolah yang memadai, mobil untuk antar jemput, makanan yang pantas, tempat tinggal yang cukup, dan lain sebagainya itu saya dan suami ibarat kata harus memeras keringat, mengorbankan segala energi yang dipunya supaya semua kebutuhan rumah tangga ini terpenuhi. 

Alhamdulilah, diantara sedikit  kurang ini dan itu, tapi ternyata banyak juga berkat yang kita punya. 

Lalu kemudian saya teringat kata-kata orang tua jaman dulu “anak sekarang sih enak, apa-apa disediain, dulu kita sekolah ngangkot, sepatu cuma bisa ganti setaun sekali, buku bekas kakak kelas karena ga bisa beli buku baru”, and so on and so on. Pasti suka pada denger begitu kan? 

Tapi lalu saya mikir. Ini keadaannya emang udah berubah cin. Emang sih anak kita sekarang kali nggak ngalamin susah susahnya kayak kita dulu. Udah punya segala macem sendiri. Pergi kuliah bawa laptop sendiri. Mau ngerjain tugas dimana aja bisa, tinggal buka laptop, colok modem. Selain apa apa jadi mudah,  gaya bener kemana-mana bawa laptop. Saya dulu pas skripsi bingung mau ngerjain skripsi dimana, untung dikasih pinjem laptop sama dosen. Laptop kuno jaman itu, tapi alhamdulilah cukup aja sampe skripsi selesai. 

Balik lagi ke keadaan berubah ya. Saya setuju sih kalo anak-anak itu harus ngerasain susah. Biar belajar survive (kayak mamanya, ehem). Jangan anak itu dikasih enak semuanya sampe berasa manja nanti kepentok masalah gede baru bingung sendiri karena ga biasa punya masalah. Tapi di sisi lain, menurut saya, menyediakan fasililtas buat anak juga bukannya menghambat dia untuk belajar survive kok. Kan jamannya beda cin, Jaman kita kali susahnya karena ga punya ini itu. Jaman nanti pasti udah geser masalahnya. Dan ga bakal ada yang namanya ga ada masalah. Kita tunggu aja, kita  liat aja, masalahnya nanti apa. 

Membekali anak dengan ‘survival kit’, jelas perlu. Belajar beresin mainannya, belajar selesaikan masalah sama temennya, belajar menghadapi orang lain yang bukan keluarganya juga termasuk survival kit yang bisa kita ajarin sama mereka. 

Anak-anak itu nggak perlu ngalamin semua hal yang kita pernah alamin dulu untuk jadi pinter dan kuat. Masalah yang bakalan mereka hadapin nanti adalah satu hal yang akan ajarin mereka untuk survive. Kita tugasnya ya ngasih arahan kali ya. 

Jadi Nak, nanti kalau besar dan punya masalah, inget semua survival kit yang pernah Mama ajarin ya. Kamu itu lebih hebat dari Mama dan Papa. Apapun masalahnya, pasti bisa kamu beresin dengan baik. We knew it

Rumah Belajar Semi Palar

Ini kenapa jadi kebiasaan bangun pagi dan nagih posting blog ya. Bagus deh ya. Besok pagi kalau bangun sepagi ini lagi kita coba lari pagi. Apa aja asal lebih produktif dari kemarin kemarin. Resolusi? Boleh sebut saja begitu. Kalau nanti tengah jalan berhenti mohon jangan disebut resolusi gagal. Sebut saja haluan berubah. Okay?

Ada yang memang mau diposting sejak kemarin-kemarin sebetulnya. Tapi biasalah ibu menteri kan sibuknya segunung *sasakan*.

Mau cerita soal sekolah Biyan. Jadi per Juli 2011 kemarin kan Biyan sudah mulai sekolah (jadi tulisan ini tertunda selama….hmm…. 6 bulan – keterlaluan).

Biyan sekolah di satu sekolah yang namanya Rumah Belajar Semi Palar. Setiap ada yang tanya sekolah dimana dan saya jawab, reaksi yang biasanya saya dapatkan adalah kerutan kening, lalu pertanyaan standar, dimana itu, sekolah apa, dan lain-lain. Maklum, sekolahnya bukan sekolah “tenar” yang semua orang pasti tau, dan bukan pula sekolah “favorit” yang rata-rata ibu-ibu pengen menyekolahkan anaknya disana.

Terus kenapa saya pilih sekolah ini?

Karena begini, selama saya kecil sampai saya usia SMA, saya bersekolah di sekolah yang homogen. Jelasnya, saya sekolah di sekolah kristen yang (hampir) semuanya dari kalangan chinese. Merasa nyaman? Jelas, karena saya kan chinese, jadi merasa berada dalam lingkungan sendiri. Ketika saya masuk kuliah, sebetulnya tempat kuliah saya masih dari lingkungan serupa. Namun di tahun-tahun terakhir kuliah saya mulai banyak bergaul dengan teman-teman yang berasal dari lingkungan adat, suku, dan agama yang berbeda. Ini ternyata menyenangkan, dan saya rasanya lebih bisa menerima banyaknya perbedaan yang ada di sekitar saya.

Maka saya menginginkan hal yang berbeda untuk Biyan. Saya ingin, sejak kecil dia merasakan dan mengalami bahwa ada banyak perbedaan di luar dengan dirinya sendiri, dan itu tidak aneh, apalagi salah. Rumah Belajar Semi Palar tidak berdasarkan suatu agama, karenanya murid-murid yang bersekolah disitu pun berasal dari banyak kalangan agama dan suku. Untuk saya, inilah cara mengajar toleransi paling efektif buat anak-anak, masukkan mereka ke dalam lingkungan yang heterogen. Bagaimana bisa mengajar anak-anak untuk bertoleransi kalau kiri-kanan-depan-belakang semua beragama sama, berlatar belakang sama, dan beradat sama? Seperti yang saya rasakan dulu jadinya, cuma teori. Syukur-syukur ada yang berhasil mengerti dan menjalankannya dalam kehidupan, sisanya (sorry to say), cuma teori.

Sejak pertama kali datang untuk open house dan mendengar penjelasan ini itu soal Rumah Belajar Semi Palar, saya jatuh cinta. Saya bahkan tidak mencari perbandingan sekolah lain (khas saya kalau sudah senang akan sesuatu). Sekolah ini menamakan dirinya Rumah Belajar karena mereka memang menciptakan suasana itu untuk anak-anak. Sampai sekarang. kalau ditanya “Biyan belajar apa di sekolah?”, biasanya dia diam saja, lain halnya kalau ditanya “Biyan main apa di sekolah?”, maka ceritanya akan mengalir soal apa saja yang dikerjakannya hari itu.

Rumah Belajar Semi Palar menyediakan suasana yang santai sehingga anak-anak merasa betah dan ga merasa wajib pergi ke sekolah. Biyan pergi ke sekolah mengenakan sendal jepit kesukaannya, sampai sekolah dibuka dan dia  lari kesana kemari tanpa menggunakan alas kaki, semua anak-anak begitu. Ini memang bukan hal pokok, tapi salah satu cara menciptakan suasana santai, anak-anak juga merasa lebih nyaman dan ga merasa terkungkung.

Hal lain yang saya suka dari Rumah Belajar Semi Palar adalah komitmen mereka untuk melibatkan kita sebagai orang tua untuk ikut serta dalam proses pembelanjaran anak-anak. Saya sebagai orang tua yang bekerja memang kadang-kadang repot membagi waktu antara pekerjaan dan urusan sekolah ini. Tapi kalau mau kan pasti bisa, maka saya (hampir) selalu hadir di acara-acara yang diadakan disana.

Tidak ada yang lebih penting selain anak kita yang betah selama kita ‘menitipkan’ mereka di sekolah, walau ‘baru’ 2 jam sehari. Di Rumah Belajar Semi Palar, saya mendapatkan ini. Biyan betah, saya pun tenang 🙂

1st day at school

1st day at school

dia malah tidur :))

for a month or so, Biyan thought this Mischa girl is the prettiest girl in school

Kalau pengen tau lebih banyak soal Rumah Belajar Semi Palar, siapa tau mau ikutan sekolahin anaknya disitu, coba cek blognya. Ada banyak cerita anak-anak yang bikin gemes 🙂

 

 

A Pleasant Journey

Aaaah blog apa ini kok banyakan dianggurin daripada diurusinnya 🙂 Belakangan berbagi kepala dan hati dengan www.surgamakan.com. Proyek pribadi yang urusannya ga jauh-jauh dari makanan, kesukaan saya 🙂

Jadi kemarin pemilik blog berdebu ini berulang taun. 33 sekarang umurnya. Kira-kira sebulan sebelumnya saya udah menyebut-nyebut angka 33 ini sering-sering dalam hati. Mungkin hanya perasaan saja kok 33 ini bedanya serasa jauh dari 32 ya. Padahal bedanya tentu hanya 1 tahun, ya seperti waktu beranjak dari 31 ke 32 dulu.

Mungkin berasa sedikit  lebih tua karena dalam 1 tahun ini banyak sekali hal yang dialami, ya walau taun-taun sebelumnya juga sih. Yang jelas ada beberapa hal besar yang terjadi taun ini, misalnya Biyan sudah mulai sekolah. Saya sebagai orang tua merasa naik ‘kelas’. Anaknya udah sekolah lagi aja, hooray! Walau nggak bisa setiap hari anter jemput anak sekolah, saya menikmati setiap cuilan cerita Biyan di sekolahnya. Dan baru sekolah sebentar aja nambah pinternya udah banyak. Saya bangga 🙂

Yang kedua di perihal rohani. Bukannya baru, tapi banyak hal mengenai iman dan kepercayaan yang berseliweran menari-nari di kepala saya. Tak ingin banyak cerita, tapi katakanlah I have a very colorful life about this thing.

Ketiga, Friends. Teman. Family by choice. World without strangers is definitely  the world I dont wanna live in. Karena these strangers have became my friends. Some of them are always there to talk to, some of them even provide their shoulders for me to cry on. And some of them have became my family, by choice. You know who you are. Berbagi cerita, senyum, tawa, air mata, dan rahasia. Tak pernah mengira ini semua akan menghangatkan hati sampai sebegini.

Tidak pernah ada hidup yang sempurna, saya percaya itu. Pun hidup saya sendiri. Ada kurang disana-sini. Ada salah dimana-mana. Tak terhitung banyaknya salah langkah, salah ucap dan salah pikir. Di sisi lain, tak terhitung juga kasih sayang, berkat dan karunia yang dilimpahkan buat saya. Walau tidak persis 50-50 antara susah dan senangnya, namun semua saya anggap seimbang. Senang terus nggak bakal bikin kita tambah pinter dalam hidup ini. Dan susah terus kan cuma bikin sengsara, bukan ?

My life, is a 33 years of a pleasant journey.