Cari Karyawan? Susah!, Cari Kerja? Susah!

Di dalam urusan pekerjaan, saya kebetulan banyak dicurhatin orang soal susahnya cari karyawan. Di urusan pertemanan, banyak juga teman yang curhat betapa susahnya cari kerjaan. Rasanya ada sedikit yang nggak beres, ada yang bilang susah cari karyawan, ada yang bilang susah cari kerjaan.

Tapi beneran, dan sudah umur tahunan saya mendengar hal-hal macam begini. Kerjaan saya menyebabkan saya mau nggak mau ikut mikirin saat orang mencari karyawan dan nggak dapet-dapet. Karena liat sendiri, saya jadi meng-iya-kan bahwa iya ternyata cari orang yang mau kerja atau calon karyawan itu susah. Dan kesulitan cari karyawan ini tentu berdampak langsung sama kelangsungan usaha. Gimana mau jualan kalo karyawan nggak ada.

Secara nggak langsung, ini berpengaruh ke kinerja saya. Jadi secara nggak langsung pula saya gemes beneran kalo nyari karyawan aja nggak dapet-dapet. Lah katanya ada banyak orang yang susah cari kerja kan? Tapi saat butuh, dapet aja susah.

Saya kemudian mencari tahu sambil mengamati pula. Ternyata sebetulnya cari karyawan itu nggak susah kok. Tinggal titip aja sama temen. Biasanya ada beberapa orang yang kerjaannya memang cocok jadi bursa tenaga kerja, stok nya banyak bener. Dari adik, sepupu, tetangga, semua cari kerja. Kalau perlu karyawan, hubungi aja dia, mau laki-laki, mau perempuan, siap stok nya, banyak. Dan harusnya nggak usah khawatir karena kan dapet dari kenalan. Ada sedikit harapan bahwa si calon karyawan kelak tidak akan macam-macam secara dapet kerjaannya dengan unsur kekeluargaan dan harusnya nggak enak kalo bikin macem-macem. Ternyata yang susah bukannya cari karyawan. Tapi susah cari karyawan yang cocok dan pas. Kata siapa cari pacar aja yang susah? Nih buktinya, cari karyawan aja susah bok, harus cocok. harus pas. Belum lagi kalau ada kriteria lain seperti berpenampilan menarik segala.

Tapi kemudian saya mendapati bahwa si pencari kerja biasanya berubah 180 derajat sesudah menemukan kerjaan yang selama ini dicari-cari. Kata-kata macam “Mau kok kerja apa juga” dan “Nggak masalah gajinya kecil dulu, asal punya pemasukan” mendadak menguap hilang entah kemana. Nggak tau juga kalo pengucapnya yang tiba-tiba amnesia dan nggak ingat sama sekali sama ucapannya sendiri.

Contoh ya, ini kejadian nyata. Tidak direka-reka dan tidak dikarang. Seorang Bapak mencari karyawan untuk di counter makanan punyanya. setelah dapat, jauh-jauh dari Cirebon, si Bapak pun semangat mengirimkan ongkos perjalanan buat calon karyawan supaya tiba dengan mudah dan selamat ke tempat kerjaan di Bandung. Sampai di Bandung sore hari, baru sempet briefing singkat mengenai pekerjaan yang menanti esok harinya. Tau-tau, besok pagi, di saat harus pergi ke tempat kerjaan, si calon karyawan tiba-tiba urung. “Saya teringat terus ayah saya di kampung. Tadi malam tidak bisa tidur memikirkan ayah saya”, begitu katanya. Hari pertama bekerja lenyap tak berbekas, bahkan belum sejenak pun dimulai. Jangan bayangkan si calon karyawan ini gadis lugu berambut panjang yang kalo di kota namanya ‘anak papi’ ya. Kita ngomongin seorang pemuda yang naik angkot dari Cirebon dengan sepatu Converse versi tiruan, pake topi dan ikat pinggang dengan aksen paku-paku dan dompet dengan rantai besi yang dicantolkan ke ikat pinggangnya. Hari itu dia melewatkan kesempatan kerjanya karena ‘rindu ayah di kampung’.

Contoh lain seorang Ibu berjualan nasi soto. Dalam rangka membuka cabang baru, dia mencari calon karyawan untuk menunggui counternya. Mau perempuan ah, katanya. Supaya nggak terlalu bandel dan lebih bisa diaatur. Baiklah, si bursa tenaga kerja menyanggupi. kebetulan adik ipar saya sudah selesaai sekolah berbulan-bulan lalu dan belum dapat kerja. Voila! pencari kerja bertemu dengan pencari tenaga kerja. Ideal kan ? Satu-dua hari bekerja, si karyawan menunjukkan sikap yang cukup baik. Hari ketiga dan keempat pun dilalui dengan mulus. Sampai hitungan minggu. Satu saat, saya complain kepada si ibu pemilik counter. Pasalnya itu hari minggu saat harusnya food court ramai, ini counter kok malah tutup, sampai jam 12 siang belum ada tanda-tanda buka. Tanya punya tanya, ternyata si karyawan nggak datang sama sekali. Dapur masih dikunci, dan dagangan sama sekali tidak disiapkan. Rupanya entah jenuh atau memang nggak mau lagi mengerjakan kerjaannya, si karyawan memutuskan untuk nggak masuk kerja hari itu, dan tidak ijin sama sekali. “Kalau bilang sama Ibu, takut ga boleh”, begitu katanya. Tanpa sedikitpun berpikir bahwa bekerja di tempat makan di pusat perbelanjaan, hari sibuk ya tentu hari libur.

Contohnya sih cuma 2. tapi dari situ kita bisa melihat bahwa sebetulnya mencari kerja toh tidak susah-susah amat. Namanya pekerjaan kan akan selalu ada. Baik buruknya, bisa kita pikirkan kemudian. Cocok atau tidaknya tentu juga bisa menjadi pertimbangan selanjutnya. Tapi yang namanya jalan, selalu ada. Mau ngomel terus susah dapat kerja? atau mau mengambil keputusan yang ada depan mata dulu sambil menunggu kesempatan yang lebih baik datang?